''Dajjal akan keluar dari muka bumi ini, di bagian timur yang bernama Khurasan". (HR Tirmidzi).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, '' (Pasukan yang membawa) bendera hitam akan muncul dari Khurasan. Tak ada kekuatan yang mampu menahan laju mereka dan mereka akhirnya akan mencapai Yerusalem, di tempat itulah mereka akan mengibarkan benderanya.'' (HRTurmidzi).
Dalam kedua hadis itu tercantum kata ''Khurasan''. Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Al-Hadith Al-Nabawi , mengungkapkan, saat ini, Khurasan terletak di ujung timur Laut Iran. Pusat kotanya adalah Masyhad.
Sejarah peradaban Islam mencatat Khurasan dengan tinta emas. Betapa tidak. Khurasan merupakan wilayah yang terbilang amat penting dalam sejarah peradaban Islam. Jauh sebelum pasukan tentara Islam menguasai wilayah itu, Rasulullah SAW dalam beberapa haditsnya telah menyebut-nyebut nama Khurasan.
Letak geografis Khurasan sangat strategis dan banyak diincar para penguasa dari zaman ke zaman. Pada awalnya, Khurasan Raya merupakan wilayah sangat luas membentang meliputi; kota Nishapur dan Tus (Iran); Herat, Balkh, Kabul dan Ghazni (Afghanistan); Merv dan Sanjan (Turkmenistan), Samarkand dan Bukhara (Uzbekistan); Khujand dan Panjakent (Tajikistan); Balochistan (Pakistan, Afghanistan, Iran).
Kini, nama Khurasan tetap abadi menjadi sebuah nama provinsi di sebelah Timur Republik Islam Iran. Luas provinsi itu mencapai 314 ribu kilometer persegi. Khurasan Iran berbatasan dengan Republik Turkmenistan di sebelah Utara dan di sebelah Timur dengan Afganistan. Dalam bahasa Persia, Khurasan berarti 'Tanah Matahari Terbit.'
Jejak peradaban manusia di Khurasan telah dimulai sejak beberapa ribu tahun sebelum masehi (SM). Sejarah mencatat, sebelum Aleksander Agung pada 330SM menguasai wilayah itu, Khurasan berada dalam kekuasaan Imperium Achaemenid Persia. Semenjak itu, Khurasan menjelma menjadi primadona yang diperebutkan para penguasa.
Pada abad ke-1 M, wilayah timur Khurasan Raya ditaklukan Dinasti Khusan. Dinasti itu menyebarkan agama dan kebudayaan Budha. Tak heran, bila kemudian di kawasan Afghanistan banyak berdiri kuil. Jika wilayah timur dikuasai Dinasti Khusan, wilayah barat berada dalam genggaman Dinasti Sasanid yang menganut ajaran zoroaster yang menyembah api.
***
Khurasan memasuki babak baru ketika pasukan tentara Islam berhasil menaklukkan wilayah itu. Islam mulai menancapkan benderanya di Khurasan pada era Kekhalifahan Umar bin Khattab. Di bawah pimpinan komandan perang, Ahnaf bin Qais, pasukan tentara Islam mampu menerobos wilayah itu melalui Isfahan.
Dari Isfahan, pasukan Islam bergerak melalui dua rute yakni Rayy dan Nishapur. Untuk menguasai wilayah Khurasan, pasukan umat Islam disambut dengan perlawanan yang amat sengit dari Kaisar Persia bernama Yazdjurd. Satu demi satu tempat di Khurasan berhasil dikuasai pasukan tentara Islam. Kaisar Yazdjurd yang terdesak dari wilayah Khurasan akhirnya melarikan diri ke Oxus.
Setelah Khurasan berhasil dikuasai, Umar memerintahkan kaum Muslim untuk melakukan konsolidasi di wilayah itu. Khalifah tak mengizinkan pasukan tentara Muslim untuk menyeberang ke Oxus. Umar lebih menyarankan tentara Islam melakukan ekspansi ke Transoxiana.
Sepeninggal Umar, pemberontakan terjadi di Khurasan. Wilayah itu menyatakan melepaskan diri dari otoritas Muslim. Kaisar Yazdjurd menjadikan Merv sebagai pusat kekuasaan. Namun, sebelum Yadzjurd berhadapan lagi dengan pasukan tentara Muslim yang akan merebut kembali Khurasan, dia dibunuh oleh pendukungnya yang tak loyal.
Khalifah Utsman bin Affan yang menggantikan Umar tak bisa menerima pemberontakan yang terjadi di Khurasan. Khalifah ketiga itu lalu memerintahkan Abdullah bin Amir Gubernur Jenderal Basra untuk kembali merebut Khurasan. Dengan jumlah pasukan yang besar, umat Islam mampu merebut kembali Khurasan.
Ketika Dinasti Umayyah berkuasa, Khurasan merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Islam yang berpusat di Damaskus. Penduduk dan pemuka Khurasan turut serta membantu Dinasti Abbasiyah untuk menggulingkan Umayyah. Salah satu pemimpin Khurasan yang turut mendukung gerakan anti- Umayyah itu adalah Abu Muslim Khorasani antara tahun 747 M hingga 750 M.
***
Setelah Dinasti Abbasiyah berkuasa, Abu Muslim justru ditangkap dan dihukum oleh Khalifah Al-Mansur. Sejak itu, gerakan kemerdekaan untuk lepas dari kekuasaan Arab mulai menggema di Khurasan. Pemimpin gerakan kemerdekaan Khurasan dari Dinasti Abbasiyah itu adalah Tahir Phosanji pada tahun 821.
Ketika kekuatan Abbasiyah mulai melemah, lalu berdirilah dinasti-dinasti kecil yang menguasai Khurasan. Dinasti yang pertama muncul di Khurasan adalah Dinasti Saffariyah (861 M - 1003 M). Setelah itu, Khurasan silih berganti jatuh dari satu dinasti ke dinasti Iran yang lainnya. Setelah kekuasaan Saffariyah melemah, Khurasan berada dalam genggaman Dinasti Iran lainnya, yakni Samanid.
Setelah itu, Khurasan menjadi wilayah kekuasaan orang Turki di bawah Dinasti Ghaznavids pada akhir abad ke-10 M. Seabad kemudian, Khurasan menjadi wilayah kerajaan Seljuk. Pada abad ke-13 M, bangsa Mongol melakukan invasi dengan menghancurkan bangunan serta membunuhi penduduk di wilayah Khurasan.
Pada abad ke-14 M hingga 15 M, Khurasan menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Timurid yang didirikan Timur Lenk. Khurasan berkembang amat pesat pada saat dikuasai Dinasti Ghaznavids, Ghazni dan Timurid. Pada periode itu Khuran menggeliat menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Tak heran, jika pada masa itu lahir dan muncul ilmuwan, sarjana serta penyair Persia terkemuka.
Sederet literatur Persia bernilai tinggi ditulis pada era itu. Nishapur, Herat, Ghazni dan Merv kota-kota penting di Khurasan menjadi pusat berkembangnya kebudayaan. Memasuki abad ke-16 M hingga 18, Khurasan berada dalam kekuasaan Dinasti Moghul. Di setiap periode, Khurasan selalu menjadi tempat yang penting.
Bangunan-bangunan bersejarah yang kini masih berdiri kokoh di Khurasan menjadi saksi kejayaan Khurasan di era kekhalifahan. Selain itu, naskah naskah penting lainnya yang masih tersimpan dengan baik membuktikan bahwa Khurasan merupakan tempat yang penting bagi pengembangan ajaran Islam.
(Republika Online - Dunia Islam)
"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Senin, 15 Oktober 2012
Menjadi Umat Yang Terbaik
Manusia adalah wujud dari kemahasempurnaan Allah SWT yang menciptakan (al-Khaliq), yang mengadakan (al-Bari'), dan yang membentuk rupa (al-Mushawwir). Di samping kesempurnaan jasmani dan rohani, kapasitas intelektual adalah alasan penting mengapa manusia dipilih untuk menerima amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Kesempurnaan manusia adalah pada kemampuannya berpikir, menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, memanfaatkan fakultas-fakultas yang dimilikinya, yaitu as-samu (pendengaran), al-bashar (penglihatan), dan al-fuad (hati).
Menuntut ilmu adalah tugas pertama dan utama seorang anak manusia. Allah SWT telah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam AS pada awal penciptaan sebagai landasan bagi penguasaan ilmu pengetahuan. (QS al-Baqarah [2]:31).
Perintah membaca (iqra) dan menulis dengan pena (al-qalam) juga merupakan perintah pertama dari risalah kenabian. Wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah perintah membaca dan menulis. (QS al-Alaq [96]:1-5).
Belajar, mencari, menguasai, dan mengembangkan ilmu pengetahuan adalah tugas yang pertama dan utama dari umat Muhammad SAW. Dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya, manusia dapat memakmurkan bumi dan mencegahnya dari kerusakan.
Di samping sebagai hamba dan wakil Allah SWT di muka bumi, umat Islam adalah umat terbaik (khaira ummah) karena mereka senantiasa memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah SWT. (QS Ali Imran [3]:110).
Untuk dapat memelihara eksistensi dan kehormatannya sebagai umat yang terbaik, khaira ummah, the best nation of peoples for the people, umat Islam perlu terus-menerus belajar, beriman, dan beramal menyampaikan pesan-pesan Islam dengan contoh dan perbuatan serta tetap bersabar di dalam melaksanakannya. Pengetahuan yang mencerdaskan sekaligus mencerahkan tersebut diperoleh dengan menjelajahi dan mendalami ayat-ayat Allah SWT (the Spoken Verses) dan tanda-tanda di dalam ciptaan-Nya (the Creation Verses).
Kemampuannya untuk menggunakan hati (zikir) dan nalar (pikir) di dalam menjelajahi tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah ciri utama dari seorang Muslim cendekia (ulul albab, men of understanding). Itu sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, pengikut, dan pewaris terbaiknya. (QS Ali Imran [3]: 190-191).
Mengenai turunnya ayat ini, Abdullah Ibnu Umar RA menceritakan, dari Ummul Mu'minin Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW berdiri di dalam shalat malamnya dan menangis hingga janggutnya menjadi basah. Beliau menangis hingga air matanya membasahi lantai. Beliau kemudian berbaring dan bertumpu pada bagian sisinya seraya menangis.
Ketika Bilal datang untuk mengingatkan waktu shalat Subuh, dia berkata, "Ya Rasulullah, apa gerangan yang membuatmu menangis, padahal Allah SWT telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan akan datang." Beliau SAW berkata, "Ya Bilal, apa yang dapat menghalangi tangisku, ketika malam ini, ayat ini (QS Ali Imran [3]:190), diturunkan kepadaku. Celaka orang yang membaca ayat ini, tetapi tidak merenungkannya."
Kesempurnaan manusia adalah pada kemampuannya berpikir, menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, memanfaatkan fakultas-fakultas yang dimilikinya, yaitu as-samu (pendengaran), al-bashar (penglihatan), dan al-fuad (hati).
Menuntut ilmu adalah tugas pertama dan utama seorang anak manusia. Allah SWT telah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam AS pada awal penciptaan sebagai landasan bagi penguasaan ilmu pengetahuan. (QS al-Baqarah [2]:31).
Perintah membaca (iqra) dan menulis dengan pena (al-qalam) juga merupakan perintah pertama dari risalah kenabian. Wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah perintah membaca dan menulis. (QS al-Alaq [96]:1-5).
Belajar, mencari, menguasai, dan mengembangkan ilmu pengetahuan adalah tugas yang pertama dan utama dari umat Muhammad SAW. Dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya, manusia dapat memakmurkan bumi dan mencegahnya dari kerusakan.
Di samping sebagai hamba dan wakil Allah SWT di muka bumi, umat Islam adalah umat terbaik (khaira ummah) karena mereka senantiasa memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah SWT. (QS Ali Imran [3]:110).
Untuk dapat memelihara eksistensi dan kehormatannya sebagai umat yang terbaik, khaira ummah, the best nation of peoples for the people, umat Islam perlu terus-menerus belajar, beriman, dan beramal menyampaikan pesan-pesan Islam dengan contoh dan perbuatan serta tetap bersabar di dalam melaksanakannya. Pengetahuan yang mencerdaskan sekaligus mencerahkan tersebut diperoleh dengan menjelajahi dan mendalami ayat-ayat Allah SWT (the Spoken Verses) dan tanda-tanda di dalam ciptaan-Nya (the Creation Verses).
Kemampuannya untuk menggunakan hati (zikir) dan nalar (pikir) di dalam menjelajahi tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah ciri utama dari seorang Muslim cendekia (ulul albab, men of understanding). Itu sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, pengikut, dan pewaris terbaiknya. (QS Ali Imran [3]: 190-191).
Mengenai turunnya ayat ini, Abdullah Ibnu Umar RA menceritakan, dari Ummul Mu'minin Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW berdiri di dalam shalat malamnya dan menangis hingga janggutnya menjadi basah. Beliau menangis hingga air matanya membasahi lantai. Beliau kemudian berbaring dan bertumpu pada bagian sisinya seraya menangis.
Ketika Bilal datang untuk mengingatkan waktu shalat Subuh, dia berkata, "Ya Rasulullah, apa gerangan yang membuatmu menangis, padahal Allah SWT telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan akan datang." Beliau SAW berkata, "Ya Bilal, apa yang dapat menghalangi tangisku, ketika malam ini, ayat ini (QS Ali Imran [3]:190), diturunkan kepadaku. Celaka orang yang membaca ayat ini, tetapi tidak merenungkannya."
Nilai Kejujuran
Ka'ab bin Malik RA adalah salah satu sahabat Nabi SAW yang tidak ikut berperang dalam Perang Tabuk. Penyebabnya, karena terlena dengan urusan dirinya yang menjadikan ia tertinggal dan tidak ikut berperang bersama Nabi SAW.
Ketika perang selesai dan berita kepulangan Nabi SAW tersiar, Ka'ab dihantui kerisauan. Terbetik dalam dirinya untuk berbohong, agar terhindar dari kemarahan Rasulullah SAW. Namun, ia tak berani berbohong. Ia membulatkan tekad untuk berkata jujur.
Setelah Nabi SAW tiba, Ka'ab segera menghadap Nabi SAW. Beliau tersenyum hambar sambil memalingkan wajahnya yang mulia. Ka'ab berkata, "Wahai Rasulullah, engkau telah berpaling dari saya. Demi Allah, saya bukanlah orang munafik dan saya meyakini keimanan saya." Beliau bersabda,"Kemarilah, mengapa engkau tidak ikut berperang, bukankah engkau sudah membeli unta sebagai kendaraan?"
Ka'ab pun menjawab, "Ya Rasulullah, kalau kepada orang lain sudah tentu saya dapat memberikan berbagai alasan agar ia tidak marah, karena Allah telah mengaruniakan kepada saya kepandaian berbicara. Tetapi kepada engkau, walaupun saya dapat memberikan keterangan dusta yang dapat memuaskan hatimu, sudah tentu Allah akan murka kepadaku."
Ka'ab menambahkan, "Sebaliknya jika saya berkata jujur sehingga engkau marah, saya yakin Allah akan menghilangkan kemarahan engkau. Maka, saya akan berkata dengan sejujurnya. "Demi Allah, saya tidak memiliki halangan apa pun. Seperti halnya orang lain, saya berada dalam keadaan lapang dan bebas. Bahkan, pada saat ini saya memiliki kesempatan yang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya."
Rasulullah SAW bersabda, "Engkau telah berkata jujur, berdirilah, Allah akan memutuskan segala urusanmu." Setelah itu, Ka'ab meninggalkan Nabi SAW dan pulang ke rumahnya. Dalam masa penantian menunggu keputusan Allah SWT, Ka'ab dilarang berbicara pada siapa pun dan ia juga diperintahkan untuk menjauhi istrinya.
Orang-orang pun menjauhinya dan mengucilkannya seakan-akan dunia menolaknya. Bukan hanya itu, saudaranya pun tidak mau berbicara kepadanya dan bahkan ada orang yang mengajaknya keluar dari agama Islam. Semua ini menjadikan Ka'ab sangat bersedih.
Pada hari yang ke-50, kabar gembira pun datang kepadanya, bahwa Allah menerima tobat Ka'ab dan dua sahabatnya. Dengan hati gembira Ka'ab datang menghadap Nabi SAW. Beliau bersabda, "Bergembiralah dengan meraih saat yang penuh kebaikan, yang belum pernah kau lalui sejak engkau dilahirkan ibumu."
Sebagai rasa syukur Ka'ab pun menyedekahkan sebagian hartanya dan ia berkata, "Ya Rasulullah, Allah sungguh telah menyelamatkan diriku dengan kejujuran, maka sebagai bagian dari pertobatanku, aku tidak akan berbicara kecuali dengan kejujuran selama sisa hidupku."
Kejujuran adalah kesesuaian amal dengan tuntunan perintah-perintah syariat. Semoga kisah ini menjadi teladan bagi kita untuk berlaku jujur dalam berbagai kondisi walaupun hal itu berisiko, karena kejujuran membawa pada kebaikan dan pada surga. Wallahu'alam
Ketika perang selesai dan berita kepulangan Nabi SAW tersiar, Ka'ab dihantui kerisauan. Terbetik dalam dirinya untuk berbohong, agar terhindar dari kemarahan Rasulullah SAW. Namun, ia tak berani berbohong. Ia membulatkan tekad untuk berkata jujur.
Setelah Nabi SAW tiba, Ka'ab segera menghadap Nabi SAW. Beliau tersenyum hambar sambil memalingkan wajahnya yang mulia. Ka'ab berkata, "Wahai Rasulullah, engkau telah berpaling dari saya. Demi Allah, saya bukanlah orang munafik dan saya meyakini keimanan saya." Beliau bersabda,"Kemarilah, mengapa engkau tidak ikut berperang, bukankah engkau sudah membeli unta sebagai kendaraan?"
Ka'ab pun menjawab, "Ya Rasulullah, kalau kepada orang lain sudah tentu saya dapat memberikan berbagai alasan agar ia tidak marah, karena Allah telah mengaruniakan kepada saya kepandaian berbicara. Tetapi kepada engkau, walaupun saya dapat memberikan keterangan dusta yang dapat memuaskan hatimu, sudah tentu Allah akan murka kepadaku."
Ka'ab menambahkan, "Sebaliknya jika saya berkata jujur sehingga engkau marah, saya yakin Allah akan menghilangkan kemarahan engkau. Maka, saya akan berkata dengan sejujurnya. "Demi Allah, saya tidak memiliki halangan apa pun. Seperti halnya orang lain, saya berada dalam keadaan lapang dan bebas. Bahkan, pada saat ini saya memiliki kesempatan yang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya."
Rasulullah SAW bersabda, "Engkau telah berkata jujur, berdirilah, Allah akan memutuskan segala urusanmu." Setelah itu, Ka'ab meninggalkan Nabi SAW dan pulang ke rumahnya. Dalam masa penantian menunggu keputusan Allah SWT, Ka'ab dilarang berbicara pada siapa pun dan ia juga diperintahkan untuk menjauhi istrinya.
Orang-orang pun menjauhinya dan mengucilkannya seakan-akan dunia menolaknya. Bukan hanya itu, saudaranya pun tidak mau berbicara kepadanya dan bahkan ada orang yang mengajaknya keluar dari agama Islam. Semua ini menjadikan Ka'ab sangat bersedih.
Pada hari yang ke-50, kabar gembira pun datang kepadanya, bahwa Allah menerima tobat Ka'ab dan dua sahabatnya. Dengan hati gembira Ka'ab datang menghadap Nabi SAW. Beliau bersabda, "Bergembiralah dengan meraih saat yang penuh kebaikan, yang belum pernah kau lalui sejak engkau dilahirkan ibumu."
Sebagai rasa syukur Ka'ab pun menyedekahkan sebagian hartanya dan ia berkata, "Ya Rasulullah, Allah sungguh telah menyelamatkan diriku dengan kejujuran, maka sebagai bagian dari pertobatanku, aku tidak akan berbicara kecuali dengan kejujuran selama sisa hidupku."
Kejujuran adalah kesesuaian amal dengan tuntunan perintah-perintah syariat. Semoga kisah ini menjadi teladan bagi kita untuk berlaku jujur dalam berbagai kondisi walaupun hal itu berisiko, karena kejujuran membawa pada kebaikan dan pada surga. Wallahu'alam
Bagaimanakah Nasab Anak yang Dibuang?
Anak yang dibuang (al-laqith) adalah jiwa manusia yang wajib dihormati dan diselamatkan kehidupannya. Hukum memelihara anak terbuang adalah fardhu kifayah bagi masyarakat Muslim, terutama agar anak itu memperoleh kehidupan layak. Berdosalah seluruh anggota masyarakat jika ada anak terbuang yang telantar hingga ada yang mau mengasuhnya.
Tetapi, kewajiban untuk mengasuh dan menanggung kehidupan anak yang dibuang tidak da pat dijadikan alasan untuk menasabkannya kepada keluarga yang mengasuh.
"Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibu mu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak ang katmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan, Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.
Dan, tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang di sengaja oleh hatimu. Dan, adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS al-Ahzab [33]: 4-5).
Dan, hal itu ditegaskan oleh Nabi Muham mad SAW. "Barang siapa menyandarkan dirinya kepada selain bapaknya atau kepada selain tuan-tuannya maka ia akan mendapatkan laknat Allah yang berkelanjutan hingga datang hari kiamat." (HR Abu Daud).
"Tidak ada seseorang pun yang menasabkan dirinya kepada selain ayahnya, padahal dia tahu dia bukan ayahnya, kecuali dia telah kafir." (HR Bukhari dan Muslim).
Pada ayat di atas, Allah menjelaskan, jika kita tidak mengetahui nasab atau orang tua anak yang dibuang tersebut maka dia merupakan saudara seagama.
Kalau dia belum punya nama, kita boleh memilih dan memberikan nama yang baik untuk dinasabkan kepadanya yang tidak mengandung kebohongan. Bila anak tersebut masih bayi dan belum ba lig atau mumayiz (sudah berakal dan mengerti), tidak apa-apa bagi perempuan-perempuan dalam keluarga pengasuh ini untuk tidak berjilbab di hadapannya, begitu juga sebaliknya jika anak tersebut adalah seorang perempuan. Tetapi, saat sudah balig, wajib bagi perempuan-perempuan dalam keluarga tersebut untuk berhijab di hadapannya.
Kecuali, jika ketika anak itu ditemukan masih bayi di bawah dua tahun dan kemudian disusui oleh ibu dalam keluarga tersebut maka dalam hal ini ia menjadi anak susuan ibu tersebut, sua mi ibu ini menjadi bapak susuannya, dan anakanak dari ibu tersebut menjadi saudara-saudara sepersusuan yang menjadi mahram baginya yang haram dinikahi. Namun, dalam hal warisan, hubung an persusuan ini tetap tidak menjadikan mereka saling mewarisi karena persusuan b kan salah satu sebab untuk saling mewarisi.
(Republika Online)
Tetapi, kewajiban untuk mengasuh dan menanggung kehidupan anak yang dibuang tidak da pat dijadikan alasan untuk menasabkannya kepada keluarga yang mengasuh.
"Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibu mu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak ang katmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan, Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.
Dan, tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang di sengaja oleh hatimu. Dan, adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS al-Ahzab [33]: 4-5).
Dan, hal itu ditegaskan oleh Nabi Muham mad SAW. "Barang siapa menyandarkan dirinya kepada selain bapaknya atau kepada selain tuan-tuannya maka ia akan mendapatkan laknat Allah yang berkelanjutan hingga datang hari kiamat." (HR Abu Daud).
"Tidak ada seseorang pun yang menasabkan dirinya kepada selain ayahnya, padahal dia tahu dia bukan ayahnya, kecuali dia telah kafir." (HR Bukhari dan Muslim).
Pada ayat di atas, Allah menjelaskan, jika kita tidak mengetahui nasab atau orang tua anak yang dibuang tersebut maka dia merupakan saudara seagama.
Kalau dia belum punya nama, kita boleh memilih dan memberikan nama yang baik untuk dinasabkan kepadanya yang tidak mengandung kebohongan. Bila anak tersebut masih bayi dan belum ba lig atau mumayiz (sudah berakal dan mengerti), tidak apa-apa bagi perempuan-perempuan dalam keluarga pengasuh ini untuk tidak berjilbab di hadapannya, begitu juga sebaliknya jika anak tersebut adalah seorang perempuan. Tetapi, saat sudah balig, wajib bagi perempuan-perempuan dalam keluarga tersebut untuk berhijab di hadapannya.
Kecuali, jika ketika anak itu ditemukan masih bayi di bawah dua tahun dan kemudian disusui oleh ibu dalam keluarga tersebut maka dalam hal ini ia menjadi anak susuan ibu tersebut, sua mi ibu ini menjadi bapak susuannya, dan anakanak dari ibu tersebut menjadi saudara-saudara sepersusuan yang menjadi mahram baginya yang haram dinikahi. Namun, dalam hal warisan, hubung an persusuan ini tetap tidak menjadikan mereka saling mewarisi karena persusuan b kan salah satu sebab untuk saling mewarisi.
(Republika Online)
Kandidat Muslim Dominasi Pemilihan Walikota di Brussel
REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Warga Belgia di regional ibukota Brussels menggelar pemilihan umum daerah di 19 kota secara serentak, Ahad (14/10). Menariknya, di kota Sint-Jans-Molenbeek, seluruh kandidat wali kota yang terdaftar berasal dari warga Muslim.
Seperti dilansir laman Eurasia Review, tiga dari empat kandidat walikota Molenbeek adalah warga Muslim keturunan Timur Tengah. Ketiganya bernama kecil; Jalal, Husein, dan Muhammad.
"Baik Jalal, Husein ataupun Muhammad yang akan memenangi pemilu, itu akan mengubah wajah Eropa di masa depan," kata seorang warga Samvel Avanesyan.
Satu-satunya kandidat yang merupakan warga asli Belgia adalah walikota incumbent Philippe Moreaux. Moreaux sendiri merupakan mualaf yang telah memeluk Islam sejak menikah dengan seorang Muslimah beberapa tahun silam. Saat ini, pemilukada Molenbeek masih dalam tahap penghitungan suara.
Komite pemilihan umum setempat belum melansir nama walikota Molenbeek periode mendatang. Regional Brussel adalah satu dari tiga regional yang ada di Belgia.
Satu di antara 19 kotanya adalah City of Brussels yang merupakan ibukota Belgia. City of Brussels juga dikenal sebagai ibukota Eropa karena di kota itulah markas organisasi negara-negara benua biru, Uni Eropa.
(Republika Online - Dunia Islam)
Seperti dilansir laman Eurasia Review, tiga dari empat kandidat walikota Molenbeek adalah warga Muslim keturunan Timur Tengah. Ketiganya bernama kecil; Jalal, Husein, dan Muhammad.
"Baik Jalal, Husein ataupun Muhammad yang akan memenangi pemilu, itu akan mengubah wajah Eropa di masa depan," kata seorang warga Samvel Avanesyan.
Satu-satunya kandidat yang merupakan warga asli Belgia adalah walikota incumbent Philippe Moreaux. Moreaux sendiri merupakan mualaf yang telah memeluk Islam sejak menikah dengan seorang Muslimah beberapa tahun silam. Saat ini, pemilukada Molenbeek masih dalam tahap penghitungan suara.
Komite pemilihan umum setempat belum melansir nama walikota Molenbeek periode mendatang. Regional Brussel adalah satu dari tiga regional yang ada di Belgia.
Satu di antara 19 kotanya adalah City of Brussels yang merupakan ibukota Belgia. City of Brussels juga dikenal sebagai ibukota Eropa karena di kota itulah markas organisasi negara-negara benua biru, Uni Eropa.
(Republika Online - Dunia Islam)
Keutamaan Bulan Dzulhijjah
Kaum Muslimin sepatutnya menyambut kedatangan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal tersebut karena Allah SWT telah menjadikan hari-hari pertama bulan Dzulhijjah sebagai "musim kebaikan" baik bagi para jamaah haji maupun bagi yang sedang tidak melaksanakan rukun Islam kelima tersebut.
Allah SWT bersumpah demi sepuluh hari itu (QS. Al Fajar: 1-2), dan tiadalah sumpah dikemukakan oleh Tuhan kecuali di dalamnya terkandung keagungan dan keutamaan tempat, waktu maupun keadaan.
Bagi para jamaah haji, pemanfaatan momentum sepuluh hari bulan Dzulhijjah akan meningkatkan kualitas dan konsentrasi ibadah haji serta syiar Islam secara keseluruhan.
Sedangkan bagi yang tidak melaksanakan haji, bersungguh-sungguh beribadah pada hari-hari tersebut kualitasnya menyamai jihad fi sabilillah, karena keutamaan awal sepuluh hari Dzulhijjah semisal keutamaan sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebut bahwa keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah disebabkan oleh berkumpulnya ibadah-ibadah utama yang terdiri dari: shalat, sedekah, puasa dan haji.
Sedangkan Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa Allah SWT mewahyukan Taurat kepada Musa AS yang didahului dengan berpuasa selama 40 hari; 30 hari disinyalir berada pada bulan Dzulqa'dah dan 10 hari lainnya awal Dzulhijjah. Puasa itu menjadi penyempurna turunnya Taurat kepada Musa, dan pada bulan yang sama Allah SWT menurunkan wahyu terakhir Alquran kepada Rasulullah SAW.
Di bulan Dzulhijjah, Allah SWT menggabungkan keharaman waktu (Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram), keharaman tempat (Makkah dan Madinah sebagai tanah Haram), dan keharaman kondisi/momentum (berhaji di Baitul Haram yang menjadi profil paripurna seorang Muslim).
Maka, berbagai keistimewaan tersebut menjadikan bulan Dzulhijjah sebagai bulan istimewa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tidak ada suatu hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih dicintai oleh Allah SWT daripada amalan sepuluh hari."
Para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad fi sabilillah (lebih baik darinya)?"
Rasulullah SAW menjawab, "Tidak pula Jihad di jalan Allah (lebih baik darinya), kecuali seorang laki-laki yang keluar rumah dengan mambawa jiwa dan hartanya serta pada saat pulang tidak membawa apa-apa." (HR. Bukhari).
Karena keistimewaan itu, beberapa perbuatan baik yang istimewa dilakukan di antaranya:
1. Menjalankan ibadah haji bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa melakukan ibadah haji di rumah ini dan tidak berkata kotor maupun tidak berguna, maka dosanya akan dihapuskan sebagaimana bayi yang baru keluar dari rahim ibunya." (HR. Bukhari-Muslim).
2. Puasa sunah tarwiyah dan arafah. Adalah Rasulullah SAW yang berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, Hari Asyura dan tiga hari dalam setiap bulan." (HR. Abu Daud).
3. Memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil. Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih agung di sisi Allah dan dicintai-Nya dibanding sepuluh hari. Maka perbanyaklah tasbih, tahmid, tahlil dan takbir di dalamnya." (HR. Tabrani).
4. Melaksanakan penyembelihan kurban (jika mampu). Dari Ummu Salmah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian menyaksikan bulan Dzulhijjah dan berkeinginan untuk berkurban, maka janganlah mengambil sekecil apa pun bagian dari rambut maupun kukunya sampai ia disembelih." (HR. Muslim).
5. Memperbanyak ibadah sunah semisal berpuasa, shalat, sedekah, membaca Alquran dan semacamnya. (QS. Ali Imran: 133).
Demikianlah keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan harapan kaum Muslimin dapat memanfaatkan momentum istimewa dengan amal ibadah yang bernilai istimewa.
(Republika Online - Dunia Islam)
Allah SWT bersumpah demi sepuluh hari itu (QS. Al Fajar: 1-2), dan tiadalah sumpah dikemukakan oleh Tuhan kecuali di dalamnya terkandung keagungan dan keutamaan tempat, waktu maupun keadaan.
Bagi para jamaah haji, pemanfaatan momentum sepuluh hari bulan Dzulhijjah akan meningkatkan kualitas dan konsentrasi ibadah haji serta syiar Islam secara keseluruhan.
Sedangkan bagi yang tidak melaksanakan haji, bersungguh-sungguh beribadah pada hari-hari tersebut kualitasnya menyamai jihad fi sabilillah, karena keutamaan awal sepuluh hari Dzulhijjah semisal keutamaan sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebut bahwa keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah disebabkan oleh berkumpulnya ibadah-ibadah utama yang terdiri dari: shalat, sedekah, puasa dan haji.
Sedangkan Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa Allah SWT mewahyukan Taurat kepada Musa AS yang didahului dengan berpuasa selama 40 hari; 30 hari disinyalir berada pada bulan Dzulqa'dah dan 10 hari lainnya awal Dzulhijjah. Puasa itu menjadi penyempurna turunnya Taurat kepada Musa, dan pada bulan yang sama Allah SWT menurunkan wahyu terakhir Alquran kepada Rasulullah SAW.
Di bulan Dzulhijjah, Allah SWT menggabungkan keharaman waktu (Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram), keharaman tempat (Makkah dan Madinah sebagai tanah Haram), dan keharaman kondisi/momentum (berhaji di Baitul Haram yang menjadi profil paripurna seorang Muslim).
Maka, berbagai keistimewaan tersebut menjadikan bulan Dzulhijjah sebagai bulan istimewa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tidak ada suatu hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih dicintai oleh Allah SWT daripada amalan sepuluh hari."
Para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad fi sabilillah (lebih baik darinya)?"
Rasulullah SAW menjawab, "Tidak pula Jihad di jalan Allah (lebih baik darinya), kecuali seorang laki-laki yang keluar rumah dengan mambawa jiwa dan hartanya serta pada saat pulang tidak membawa apa-apa." (HR. Bukhari).
Karena keistimewaan itu, beberapa perbuatan baik yang istimewa dilakukan di antaranya:
1. Menjalankan ibadah haji bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa melakukan ibadah haji di rumah ini dan tidak berkata kotor maupun tidak berguna, maka dosanya akan dihapuskan sebagaimana bayi yang baru keluar dari rahim ibunya." (HR. Bukhari-Muslim).
2. Puasa sunah tarwiyah dan arafah. Adalah Rasulullah SAW yang berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, Hari Asyura dan tiga hari dalam setiap bulan." (HR. Abu Daud).
3. Memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil. Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih agung di sisi Allah dan dicintai-Nya dibanding sepuluh hari. Maka perbanyaklah tasbih, tahmid, tahlil dan takbir di dalamnya." (HR. Tabrani).
4. Melaksanakan penyembelihan kurban (jika mampu). Dari Ummu Salmah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian menyaksikan bulan Dzulhijjah dan berkeinginan untuk berkurban, maka janganlah mengambil sekecil apa pun bagian dari rambut maupun kukunya sampai ia disembelih." (HR. Muslim).
5. Memperbanyak ibadah sunah semisal berpuasa, shalat, sedekah, membaca Alquran dan semacamnya. (QS. Ali Imran: 133).
Demikianlah keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan harapan kaum Muslimin dapat memanfaatkan momentum istimewa dengan amal ibadah yang bernilai istimewa.
(Republika Online - Dunia Islam)
Shalat Qashar dan Jama'
Jika dalam masalah bersuci terdapat Rukhsah (keinginan) dalam bentuk Tayamum sebagai pengganti Wudhu atau Mandi, maka dalam Shalat juga terdapat Rukhsah, Rukhsah yang dimaksudkan agar ibadah yang diperintahkan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya tanpa membebani dan memberatkan umat Islam
Ada beberapa Rukhsah dalam Shalat, Orang sakit yang tidak mampu Shalat dengan berdiri dapat melaksanakan Shalat dengan duduk dan berbaring. Orang yang dalam perjalanan (Musafir), dan Orang-orang yang sedang berada dalam situasi yang sulit memperoleh Rukhsah dalam bentuk Jama dan Qashar, Qashar adalah meringkas bilangan Shalat dari empat menjadi dua. Sedangkan Jama' merupakan Rukhsah berupa dua waktu Shalat yang dikumpulkan menjadi satu waktu.
A. SHALAT QASHAR
Shalat Qashar adalah Shalat yang diperpendek atau diperingkas bilangan rakaatnya. Shalat yang dapat di Qashar adalah Shalat yang terdiri dari 4 rakaat, Shalat yang hanya 2 atau 3 rakaat tidak dapat di Qashar. Allah SWT berfirman :
Wa idzaa dharabtum fil ardhi falaisa 'alaikum junaahun an taqshuruu minash shalaati in khiftum ayyaftinakumul ladziina kafaruu, innal kaafiriina kaanuu lakum 'aduwwam mubiinaa.
"Dan apabila kamu berpergian dimuka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng Qashar Shalat(mu). Jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu."
Dalam sebuah Hadist dari 'Aisyah RA dijelaskan :
"Mula-mula Shalat itu diwajibkan dua rakaat dua rakaat di Mekah. Setelah Rasulullah SAW pindah ke Madinah, Shalat yang dua ditambahkan dua rakaat lagi kecuali Maghrib, karena ia merupakan Witirnya siang hari. Begitu juga shalat Fajar atau Subuh, karena bacaanya yang panjang. Maka jika berpergian, beliau pun Shalat yang pertama dahulu, yakni yang di fardhukan di Mekah."
(HR. Ahmad. Baihaqi. Ibnu Hiban, dan Ibnu Khusaimah dari 'Aisyah).
Jarak Diperkenankannya MengQashar Shalat
Banyak sekali pendapat yang dikemukakan oleh para ulama mengenai jarak diperbolehkannya seseorang meng Qashar Shalat. Ibnu Mundzir menyebutkan ada dua puluh lebih pendapat mengenai masalah ini.
Namun, pendapat yang paling kuat adalah jarak yang menjadikan seseorang diperkenankan malakukan Shalat Qashar bilamana seseorang telah berpergian sejau tiga mil, sebagai mana Hadist dari Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Baihaqi dari Yahya bin Yazid bahwa ia berkata :
"Saya bertanya kepada Anas bin Malik tentang meng Qashar Shalat. Ia menjawab, Rasulullah SAW mengerjakan Shalat dua rakaat kalau keluar sejau tiga mil atau tiga farsakh."
Hafizd Ibnu Hajar menjelaskan dalam kitab al-Fath bahwa Hadist inilah yang paling sah dan paling tegas menjelaskan jarak berpergian yang diperbolehkan untuk meng-Qashar Shalat.
B. SHALAT JAMA'
Shalat jama ialah Shalat fardhu yang dikumpulkan, yakni dua waktu Shalat yang dikumpulkan dalam satu waktu. Shalat Jama' terbatas hanya dapat dilakukan pada Shalat Dhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya. Shalat Jama' dalam pelaksanaannya ada dua yakni sebagai berikut :
1. Jama' Takdim, yakni menjama' Shalat Dhuhur dengan Ashar pada waktu Dhuhur atau Maghrib dengan isya pada waktu Maghrib.
2. Jama' Ta'khir yakni menjama' Shalat Dhuhur dengan Ashar pada waktu Ashar, dan Maghrib dengan Isya pada Waktu Isya.
Syarat Shalat Jama'
1. Dikerjakan dengan tertib, yakni mengerjakan Shalat yang pertama, seperti Dhuhur dahulu sebelum Ashar, dan Maghrib dahulu sebelum Isya.
2. Niat Shalat Jama' dilakukan pada Shalat yang pertama.
3. Mengerjakan secara berurutan, dalam artian tidak boleh diselingi dengan Shalat Sunnah maupun kegiatan lainnya.
Contohnya, Shalat Jama' Qashar untuk Dhuhur dan Ashar. Maka tata cara pelaksanaannya adalah mengerjakan Shalat Dhuhur dua rakaat terlebih dahulu, kemudian Iqomah (bila berjamaah), lalu dilanjutkan dengan Shalat Ashar dua rakaat.
D. SEBAB-SEBAB DIPERBOLEHKAN SHALAT JAMA.
Diperbolehlan menjama' Shalat jika menghadapi kondisi seperti :
a. Ketika sedang melakukan perjalanan atau Musafir.
b. Ketika hujan lebat, seperti disebutkan dalam Hadist : "Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menjama' Shalat Maghrib dan Shalat Isya pada suatu malam ketika turun hujan lebat (HR. Bukhari).
c. Karena ada keperluan yang sangat mendesak. Diperkenankan menjama, Shalat bila memiliki keperluan yang sangat mendesak (namun tidak boleh menjadi rutinitas) sekalipun tidak sedang berpergian. Kondisi seperti ini di dasarkan pada Hadist :
"Dari Ibnu Abas RA bahwa Rasulullah SAW Shalat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan rakaat. Yakni menjama' Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya" (HR. Bukhari Muslim).
"Dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW pernah menjama' Shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya di Madinah, bukan karena dalam keadaan ketakutan atau hujan." Lalu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Kenapa Rasulullah SAW melakukan demikian ?" Jawabnya "Agar beliau tidak memberatkan umatnya." (HR. Muslim).
Ada beberapa Rukhsah dalam Shalat, Orang sakit yang tidak mampu Shalat dengan berdiri dapat melaksanakan Shalat dengan duduk dan berbaring. Orang yang dalam perjalanan (Musafir), dan Orang-orang yang sedang berada dalam situasi yang sulit memperoleh Rukhsah dalam bentuk Jama dan Qashar, Qashar adalah meringkas bilangan Shalat dari empat menjadi dua. Sedangkan Jama' merupakan Rukhsah berupa dua waktu Shalat yang dikumpulkan menjadi satu waktu.
A. SHALAT QASHAR
Shalat Qashar adalah Shalat yang diperpendek atau diperingkas bilangan rakaatnya. Shalat yang dapat di Qashar adalah Shalat yang terdiri dari 4 rakaat, Shalat yang hanya 2 atau 3 rakaat tidak dapat di Qashar. Allah SWT berfirman :
Wa idzaa dharabtum fil ardhi falaisa 'alaikum junaahun an taqshuruu minash shalaati in khiftum ayyaftinakumul ladziina kafaruu, innal kaafiriina kaanuu lakum 'aduwwam mubiinaa.
"Dan apabila kamu berpergian dimuka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng Qashar Shalat(mu). Jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu."
Dalam sebuah Hadist dari 'Aisyah RA dijelaskan :
"Mula-mula Shalat itu diwajibkan dua rakaat dua rakaat di Mekah. Setelah Rasulullah SAW pindah ke Madinah, Shalat yang dua ditambahkan dua rakaat lagi kecuali Maghrib, karena ia merupakan Witirnya siang hari. Begitu juga shalat Fajar atau Subuh, karena bacaanya yang panjang. Maka jika berpergian, beliau pun Shalat yang pertama dahulu, yakni yang di fardhukan di Mekah."
(HR. Ahmad. Baihaqi. Ibnu Hiban, dan Ibnu Khusaimah dari 'Aisyah).
Jarak Diperkenankannya MengQashar Shalat
Banyak sekali pendapat yang dikemukakan oleh para ulama mengenai jarak diperbolehkannya seseorang meng Qashar Shalat. Ibnu Mundzir menyebutkan ada dua puluh lebih pendapat mengenai masalah ini.
Namun, pendapat yang paling kuat adalah jarak yang menjadikan seseorang diperkenankan malakukan Shalat Qashar bilamana seseorang telah berpergian sejau tiga mil, sebagai mana Hadist dari Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Baihaqi dari Yahya bin Yazid bahwa ia berkata :
"Saya bertanya kepada Anas bin Malik tentang meng Qashar Shalat. Ia menjawab, Rasulullah SAW mengerjakan Shalat dua rakaat kalau keluar sejau tiga mil atau tiga farsakh."
Hafizd Ibnu Hajar menjelaskan dalam kitab al-Fath bahwa Hadist inilah yang paling sah dan paling tegas menjelaskan jarak berpergian yang diperbolehkan untuk meng-Qashar Shalat.
B. SHALAT JAMA'
Shalat jama ialah Shalat fardhu yang dikumpulkan, yakni dua waktu Shalat yang dikumpulkan dalam satu waktu. Shalat Jama' terbatas hanya dapat dilakukan pada Shalat Dhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya. Shalat Jama' dalam pelaksanaannya ada dua yakni sebagai berikut :
1. Jama' Takdim, yakni menjama' Shalat Dhuhur dengan Ashar pada waktu Dhuhur atau Maghrib dengan isya pada waktu Maghrib.
2. Jama' Ta'khir yakni menjama' Shalat Dhuhur dengan Ashar pada waktu Ashar, dan Maghrib dengan Isya pada Waktu Isya.
Syarat Shalat Jama'
1. Dikerjakan dengan tertib, yakni mengerjakan Shalat yang pertama, seperti Dhuhur dahulu sebelum Ashar, dan Maghrib dahulu sebelum Isya.
2. Niat Shalat Jama' dilakukan pada Shalat yang pertama.
3. Mengerjakan secara berurutan, dalam artian tidak boleh diselingi dengan Shalat Sunnah maupun kegiatan lainnya.
Contohnya, Shalat Jama' Qashar untuk Dhuhur dan Ashar. Maka tata cara pelaksanaannya adalah mengerjakan Shalat Dhuhur dua rakaat terlebih dahulu, kemudian Iqomah (bila berjamaah), lalu dilanjutkan dengan Shalat Ashar dua rakaat.
D. SEBAB-SEBAB DIPERBOLEHKAN SHALAT JAMA.
Diperbolehlan menjama' Shalat jika menghadapi kondisi seperti :
a. Ketika sedang melakukan perjalanan atau Musafir.
b. Ketika hujan lebat, seperti disebutkan dalam Hadist : "Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menjama' Shalat Maghrib dan Shalat Isya pada suatu malam ketika turun hujan lebat (HR. Bukhari).
c. Karena ada keperluan yang sangat mendesak. Diperkenankan menjama, Shalat bila memiliki keperluan yang sangat mendesak (namun tidak boleh menjadi rutinitas) sekalipun tidak sedang berpergian. Kondisi seperti ini di dasarkan pada Hadist :
"Dari Ibnu Abas RA bahwa Rasulullah SAW Shalat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan rakaat. Yakni menjama' Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya" (HR. Bukhari Muslim).
"Dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW pernah menjama' Shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya di Madinah, bukan karena dalam keadaan ketakutan atau hujan." Lalu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Kenapa Rasulullah SAW melakukan demikian ?" Jawabnya "Agar beliau tidak memberatkan umatnya." (HR. Muslim).
Jangan Makan Berlebihan
Rasulullah SAW bersabda : "Tidak ada satu wadah yang anak Adam masukkan sesuatu ke dalamnya yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam sesuap dua suap yang mampu menjadikan tulang sulbinya tegak. Jika tidak juga maka hendaknya dia mengisi perutnya sepertiganya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, sepertiga untuk bernafas."
(HR. Tirmidzi)
(HR. Tirmidzi)
Langganan:
Postingan (Atom)