HARGA-harga
komoditi pangan di Indonesia sering tak terkontrol. Suatu saat
melambung tinggi, di saat lain anjlok mencapai titik terendah. Bawang
merah misalnya, harganya pernah mencapai puluhan ribu per kilo, tapi
saat tiba waktu panen turun drastis. Saking rendahnya harga itu, para
petani di Nganjuk, Jawa Timur pernah lebih memilih membakar barangnya
daripada menjualnya.
Tidak terkontrolnya harga-harga tersebut
karena begitu lemahnya peran pemerintah. Saking lemahnya, adanya
pemerintah itu seperti tidak ada. Sebagian orang bilang, peran
pemerintah memang dibatasi. Pemerintah tidak boleh intervensi soal
harga. Harga lebih diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun bila
harga-harga melangit sehingga mencekik rakyat, pemerintah mestinya punya
kewenangan mengontrol harga.
Seperti pendapat sebagian besar
ulama, dalam kasus tertentu -walau mereka berpendapat sebaiknya harga
memang ditentukan oleh pasar- pemerintah berhak mengontrol harga, demi
melindungi rakyat. Karena dalam banyak kasus, melambungkan harga-harga
itu bukan semata mekanisme pasar, melainkan lantaran ulah para
tengkulak.
Dalam sejarah Islam, orang yang pertama kali turut
campur menentukan harga di pasar adalah ‘Umar bin Khaththab, saat beliau
menjabat khalifah. Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang dikenal tegas ini punya perhatian besar kepada pasar. Sebab, pasar
adalah jantung ekonomi suatu masyarakat (negara). Berangkat dari
kepentingan ini, sekalipun khalifah, ‘Umar merasa perlu turun sendiri ke
pasar-pasar melakukan pengawasan. Bila melihat penyimpangan beliau
langsung meluruskan.
Dari Sa’id bin Al-Musayyib diriwayatkan,
‘Umar bertemu Hathib bin Abi Balta’ah yang sedang menjual kismis di
pasar. ‘Umar berkata, “Kamu tambah harganya atau angkat dari pasar
kami.”
Riwayat lain, dari Yahya bin Abdul Rahman bin Hathib. Dia
berkata, “Ayahku dan ‘Utsman bin ‘Affan adalah dua sekutu yang
mengambil kurma dari Al-Aliyah ke pasar. Mereka kemudian bertemu dengan
‘Umar. “Wahai Ibnu Abi Balta’ah, tambahlah harganya, apabila tidak, maka
keluarlah dari pasar kami,” kata Umar.
Riwayat di atas
menunjukkan bahwa ‘Umar begitu peduli dengan harga-harga yang berkembang
di pasar. Beliau melarang menurunkan harga. Harga yang terlalu murah
sepintas memang menguntungkan konsumen. Namun sesungguhnya dalam jangka
panjang itu bakal menghancurkan kepentingan yang lebih besar, yakni
kepentingan penjual maupun kepentingan pembeli itu sendiri.
Harga yang terlalu murah, membuat para pedagang enggan berjualan karena
keuntungannya terlalu sedikit. Tidak sepadan dengan jerih payah dan
modal yang dikeluarkan. Bila pedagang enggan berjualan, pada akhirnya
tentu bakal mempengaruhi persedian barang. Saat persedian barang
sedikit, sementara di sisi lain permintaan bertambah, yang terjadi
kemudian harga melambung tinggi. Nah, ini tentu tidak menguntungkan bagi
masyarakat banyak.
Karena itu, di samping melarang menurunkan
harga, ‘Umar memerintahkan pedagang menjual sesuai harga pasar. Ada
riwayat yang menunjukkan hal tersebut. Diriwayatkan, seorang laki-laki
datang membawa kismis dan menaruhnya di pasar. Lalu dia menjual tidak
dengan harga pasar. Tidak jelas di riwayat ini apakah pria itu menjual
di bawah harga pasar atau justru di atasnya. Yang jelas ‘Umar berkata,
“Juallah dengan harga pasar atau kamu pergi dari pasar kami.
Sesungguhnya kami tidak memaksamu dengan satu harga.”
Sebagian
ulama menganggap apa yang dilakukan ‘Umar tersebut bertentangan dengan
ketentuan Rasulullah. Abu Dawud dan At-Tirmidzi mengisahkan, suatu hari
harga-harga barang naik. Sebagian umat Islam lalu mendatangi Rasulullah,
minta beliau menentukan harga. Tapi Nabi tidak bersedia. Beliau hanya
berdoa, “Aku berdoa agar Allah menghilangkan mahalnya harga dan
meluaskan rezeki.” Rasulullah memberi alasan kenapa menolak menentukan
harga, “Sesungguhnya Allah, Dialah yang menentukan harga, yang Maha
Menahan, Maha Meluaskan lagi Maha Memberi rezeki. Dan aku berharap
bertemu Allah dan tidak ada seorang dari kalian meminta
pertanggungjawabanku atas kezaliman dalam darah dan harta.”
Ulama lain, seperti Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi berpendapat sebaliknya.
Seperti ditulis dalam bukunya, Al Fiqh Al Iqtishadi Lil Amiril Mukminin
Umar ibnu Al Khathab (diterjemahkan penerbit Khalifa dengan judul Fiqih
Ekonomi Umar bin Khathab), menurut Jaribah apa yang dilakukan Umar
tidak bertentangan dengan Hadits Nabi di atas. Jaribah punya dua alasan.
Pertama,
naiknya harga pada zaman Nabi tersebut akibat fluktuasi dari persediaan
dan permintaan barang. Artinya, harga naik karena persediaan barang
sedikit sementara permintaan banyak. Karena itu Rasulullah enggan
menetapkan harga. Memperkuat pendapatnya, Jaribah mengutip pendapatnya
Ibnu Taimiyah. Syaikhul Islam ini berpendapat, membuat dalil berdasarkan
Hadits yang menunjukkan keengganan Nabi menentukan harga, untuk
membuktikan dilarangnya penentuan harga secara mutlak adalah kesalahan.
“Ini adalah kasus khusus, bukan umum,” kata Ibnu Taimiyah.
Kedua,
masih kata Jaribah, ‘Umar tidak membatasi harga tertentu, misalnya
dengan nominal tertentu. ‘Umar hanya minta pedagang menjual dengan harga
pasar. Di antara dalil yang menunjukkan ‘Umar benar-benar menjaga
harga pasar adalah saat beliau memerintahkan Hathib untuk masuk ke
rumahnya dan menjual kismisnya sebagaimana kehendaknya. Sebab, berjualan
di rumah jauh dari penglihatan penjual dan pembeli, sehingga tidak
mempengaruhi harga di pasar.
Sekalipun sikap ‘Umar tegas dalam
menjaga harga pasar, namun beliau tidak kaku. Pada kasus tertentu
pedagang boleh menjual barangnya di luar harga pasar.
Itu pernah
dialami Al-Miswar bin Makhramah. Ia menjual makanan dengan harga
modalnya atau tanpa keuntungan. ‘Umar heran dengan apa yang dilakukan
Miswar tersebut, “Apakah kamu gila, wahai Miswar?”
Miswar
menjawab, “Demi Allah, tidak wahai Amirul Mukminin. Tetapi aku melihat
mendung musim gugur. Aku benci menahan apa yang bermanfaat bagi
manusia.” Mendengar jawaban Miswar tersebut, ‘Umar segera menyahut,
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Tetapi jika
penyimpangan harga, baik turun maupun naik yang terlalu ekstrim karena
ulah pedagang, misalnya monopoli, maka menurut Jaribah, negara mesti
bertindak demi kemaslahatan semua orang.
Kesimpulannya, bila
terjadi pergerakan harga, baik naik maupun turun, akibat fluktuasi
persediaan dan permintaan barang dalam keadaan normal, maka penentuan
harga dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Penetapan harga di
saat keadaan normal, dianggap sebagai kezaliman kepada rakyat yang
menyebabkan penguasa harus mempertanggungjawabkan pada Hari Kiamat
kelak. */Bambang Subagyo