MALAM
sudah larut. Banyak orang-orang yang telah terlelap merangkai mimpi.
Namun, ada seorang pemuda yang masih terlihat menikmati bacaannya.
Ketika rasa kantuk menyerang, ia sandarkan tubuh dan kepalanya pada buku
sebentar, lalu terbangun kembali. Tanpa merebahkan punggungnya di
tempat tidur, ia lalu meneruskan aktifitas yang menjadi hobinya, yaitu
membaca. Begitu seterusnya, hingga ia menunaikan sholat tahajjud.
Menjelang
sholat subuh, ia meraih roti yang ia simpan dan memakannya sebagai
sahur yang sekaligus menjadi makan malam serta makan siangnya. Ia sudah
terbiasa berpuasa dan makan sekali dalam sehari semalam.
Kemudian
pada keesokan harinya, ia semakin “gila” mengejar ilmu. Ia pelajari 12
cabang ilmu pada guru-gurunya. Tak sedikit-pun waktunya yang tersia-sia.
Bahkan ketika berjalan pun ia terus mengulang-ulang ilmu yang telah
dihafalnya, atau membaca buku yang ditelaahnya.
Itulah sosok
Imam Nawawi, ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya
mendunia. Kitab-kitabnya tersebar di berbagai belahan dunia. Bahkan,
sebagian dari kitab-kitab yang ditulisnya masih menjadi rujukan utama di
kalangan para penuntut ilmu hingga saat ini, termasuk di berbagai
pondok pesantren di Indonesia.
Rihlah Ilmiah
Imam Nawawi
bernama lengkap Yahya bin Syarf bin Muriy bin Hasan bin Husain bin
Muhammad bin Jam’ah bin Hizaam An-Nawawi Ad-Dimasyqiy. Ia disebut juga
sebagai Abu Zakariya, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama
Zakariya. Karena ia belum sempat menikah dan membujang hingga akhir
hayatnya. Selain itu, orang-orang memberinya gelar "Muhyiddin" (orang
yang menghidupkan agama). Padahal ia tidak menyukai gelar ini. Bahkan
diriwayatkan ia pernah berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang
menggelariku Muhyiddin.” Ucapan itu tidak akan lahir lain kecuali karena
sikap ketawaddu’annya.
Ulama kebanggan umat ini lahir di desa
Nawa, dekat kota Damaskus (yang sekarang menjadi ibu kota Suriah) pada
bulan Muharram tahun 631 H (1233 M). Kedua tempat tersebut kemudian
menjadi nisbat namanya, yaitu an-Nawawi ad-Dimasyqi.
Sejak kecil
Imam Nawawi dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak suka bermain.
Pernah suatu ketika ia dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya. Namun
ia menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Ia lebih suka
menghafalkan Al-Quran daripada memenuhi ajakan teman-temannya. Maka
tidak mengherankan, sebelum baligh ia sudah hafal Al-Quran 30 juz.
Ketika
Syeikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi, salah satu ulama di zamannya
mengetahui hal itu, ia pun mendatangi orang tuanya. Ia berpesan bahwa
anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud
pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam.
Orangtua dan gurunya pun semakin memberikan perhatian lebih kepada Imam
Nawawi kecil.
Pada tahun 649 H (1251 M), yaitu ketika usianya
mencapai 19 tahun, Imam Nawawi melakukan rihlah ilmiah ke kota damaskus.
Di sana ia “mondok” di lembaga pendidikan al-Ruwahiyyah atas beasiswa
dari lembaga tersebut. Lembaga pendidikan ini dekat dengan masjid
termegah pertama di dunia, yaitu masjid Al-Jami’ Al-Umawy. Di sana ia
memulai perjalanannya menuntut ilmu. Ia menghabiskan seluruh waktunya
untuk menuntut ilmu sehingga ilmu pun memberikan kepadanya sebagian
darinya.
Guru dan Muridnya
Imam Nawawi memiliki banyak
guru dan murid. Guru-gurunya merupakan ulama yang ahli di bidangnya.
Sedangkan di antara murid-muridnya banyak yang kemudian menjadi ulama
besar.
Dalam bidang fiqih dan ushul fiqih, sang Imam berguru
pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi (w. 650 H), Abdurrahman bin
Nuh bin Muhammad al-Maqdisi (w. 654 H), Sallar bin aI-Hasan al-Irbali
(w. 670 H), Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’I (w. 672 H),
dan Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari (w. 690 H.)
Sementara
dalam bidang ilmu hadits, ia berguru pada Abdurrahman bin Salim bin
Yahya al-Anbari (w. 661 H), Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin
al-Anshari (w. 662 H), Khalid bin Yusuf an-Nablusi (w. 663 H), Ibrahim
bin ’Isa al-Muradi (w. 668 H), Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi (w.672
H), dan Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi (w. 682 H).
Lalu
dalam bidang nahwu dan bahasa, guru-gutrunya adalah Syaikh Ahmad bin
Salim al-Mishri (w. 664 H), dan juga al-’Izz al-Maliki.
Adapun murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya
adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili,
Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, , Syamsuddin bin
an-Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim dan
masih banyak yang lainnya.
Pujian Ulama
Banyak ulama yang
memberikan apresiasi tinggi kepada Imam Nawawi. Adz-Dzahabi, misalnya
pernah berkata: "Imam Nawawi adalah profil manusia yang berpola hidup
sangat sederhana dan anti kemewahan. Ia merupakan sosok manusia yang
bertaqwa, qana’ah, wara,' memiliki muraqabatullah baik di saat sepi
maupun ramai.
Ia tidak menyukai kesenangan pribadi seperti
berpakaian indah, makan minum lezat, dan tampil mentereng. Makanannya
hanyalah roti dengan lauk seadanya. Pakaiannya adalah pakaian yang
sangat sederhana, dan alas tidurnya hanyalah kulit yang disamak. Ia
selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun
terhadap penguasa. Tidak jarang ia mengirimi surat para penguasa yang
berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban amanah kekuasaan,
menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya.
Adapun
Abul Abbas bin Faraj pernah bertutur: "Syeikh (An-Nawawi) telah berhasil
meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa
berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama
adalah ilmu (yang dalam dan luas). Tingkatan kedua adalah zuhud. Dan
tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar
ma’ruf nahi munkar."
Cinta Ilmu
Kalau berbicara tentang
kecintaan terhadap ilmu, Imam Nawawi adalah sosok yang bisa dijadikan
teladan utama. Atas kecintaannya terhadap ilmu, ia menghindari
kenikmatan-kenikmatan duniawi yang secara umum manusia cenderung
kepadanya .
Kenikmatan berupa makanan, misalnya. Ia tak mau
aktifitas makan mengganggu kegiatan belajarnya. Dalam sehari semalam ia
tidak makan kecuali sekali setelah waktu akhir isya' dan tidak minum
kecuali sekali pada waktu sahur.
Ia makan roti yang dibawakan
oleh ayahnya dari desa Nawa yang dibuat sendiri dan cukup untuk
persediaan selama satu minggu. Ia juga tidak pernah memakan kecuali satu
macam makanan seperti madu, cuka, atau minyak. Sedangkan daging, Imam
Nawawi memakannya sekali dalam sebulan, dan hampir tidak pernah ia
memakan makanan dengan dua lauk selama hidupnya. Baginya, makan tidak
lain hanyalah untuk sekedar menjaga kesehatan tubuhnya.
Kenikmatan
lain yang ia hindari dan lebih memilih belajar adalah tidur. Ia tidak
pernah menyengaja tidur. Biasanya ia tertidur ketika sedang membaca
buku. Itu pun setelah bangun langsung membaca lagi. Ia pernah berkata,
“Apabila kantuk mengalahkan diriku maka aku bersandar pada buku sebentar
lalu aku terbangun”.
Pernah suatu ketika, salah seorang
temannya datang dengan membawa makanan yang masih ada kulitnya, namun ia
tidak bersedia memakannya. Ia berkata, “Saya khawatir tubuh saya lembab
sehingga saya tertidur”.
Bahkan, yang membuat orang
terkagum-kagum atas kegigihannya dalam menuntut ilmu, yaitu ketika
muridnya yang bernama ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar menuturkan bahwa selama
2 tahun penuh ia tidak merebahkan badannya ke bumi, melainkan tidur
bersandar pada bukunya.
Selain itu, kenikmatan lain yang ia
hindari adalah menikah. Ia sebenarnya bukan tidak mau menikah apalagi
menolak syariat nikah. Bahkan, dalam kitab-kitabnya juga banyak yang
menyinggung masalah pernikahan. Hanya saja, ia tidak sempat
memikirkannya karena besarnya rasa cinta terhadap ilmu. Oleh karena itu,
ketika meninggal pada umur 45 tahun ia tetap membujang.
Karya-karyanya
Imam
Nawawi merupakan ulama yang dalam usia muda, yaitu sejak berusia 30,
sudah menghasilkan karya besar lintas negara dan lintas zaman. Buah
karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan
diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir
seluruh belantara dunia Islam.
Di dalam karya-karyanya didapati
kemudahan dalam mencernanya, keunggulan dalam argumentasinya, kejelasan
dalam kerangka berfikirnya serta keobjektifan dalam memaparkan
pendapat-pendapat para fuqaha’.
Di antara karyanya yang berjumlah
sekitar 40 tersebut ada yang telah ia selesaikan dan ada pula yang
belum terselesaikan. Di antara yang telah terselesaikan adalah kitab al-Arba’in
Nawawi, Syarh Shahih Muslim, ar-Raudhah (Raudhatut Thalibin),
al-Minhaj, Riyadhus Shalihin, al-Adzkar, at-Tibyan, Tahir Tanbih wa
Tashhth, Tahdibul Asma’ wal Lughat, Thabaqatul Fuqaha’ dan lain-lain.
Adapun yang belum terselesaikan – andaikatan ia menyelesaikannya, maka tidak ada yang bisa menandingi kitab tersebut, yakni Syarh Muhadzdzab yang
bernama al-Majmu’. Ia baru menyelesaikan sampai bab riba saja.
Susunannya bagus dan sangat bermanfaat serta kritis. Dalam kitab
tersebut, ia mengupas fiqih madzhab Syafi’i dan yang lainnya,
menerangkan hadits dengan baik, menjelaskan kalimat-kalimat asing dan
perkara-perkara penting yang hanya dijumpai dalam kitab tersebut”.
Demikianlah
profil Imam Nawawi, salah satu ulama kebanggan umat. Ulama yang dalam
usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Semoga kita bisa
meneladaninya dalam kehidupan kita