Asmat, baru saja bertobat. Ia mulai menyadari masa lalunya dengan
narkoba menyesatkan dirinya. Ketika mulai masuk dunia Sufi, Asmat justru
kembali ke narkoba lagi.
“Kamu kok begitu sih Mat? ”tegur kawannya, Darwis.
“Saya lakukan eksperimen, siapa tahu saya berdzikir sambil mengganja, tambah uueeenak, melayang dzikirku…”
“Kamu memang sudah edan makan semir Mat…”
“Coba Wis, kamu coba. Nganja sambil dzikir pasti enak tenan…”
Darwis nggak habis pikir pandangan Asmat yang kontroversial ini.
“Kamu sudah ghurur Mat. Kamu terkena tipudaya…?”
“Bagaimana
kamu bilang begitu. Kan banyak orang berdzikir yang dicari nikmatnya
dzikir, bahkan kalau perlu bisa nangis-nangis segala…”
“Lhahadala…Itu to yang membuatmu begitu…”
“Jelaskan?”
“Dzikir
itu tujuannya agar bertemu Allah, Musyahadah kepada Allah, hadir di
depan Allah. Bukan mencari nikmatnya dzikir atau…. Bisa-bisa kamu
melayang nggak karuan campur syetan nanti…”
“Campur syetan bagaimana Wis?”
“Kamu
nge-ganja, pasti kamu mengkhayal. Sedangkan hatimu tidak ingin sama
sekali bersenang-senang dengan kenikmatan khalamu, hatimu hanya sedang
mengingat Allah, bagaimana bisa nyampe pada Allah, kalau yang kau
unggulkan, kau senangi selera nafsumu?”
Asmat bengong lagi….
“Sudah
begini saja, teruskan nge-ganjamu. Apa kamu nanti bisa bertemu Allah
atau bertemu syetan…Coba! Nanti kalau kamu dicabut nyawamu saat kamu
nge-ganja sambil dzikir, kamu husnul khotimah apa su’ul khotimah, saya
nggak mau ikut-ikut akh…”
Asmat lalu menyedot sekuat-kuatnya ganja
yang di tangannya. Semakin lama ia mengkhayal semakin bergentar
jantungnya, semakin gelisah dan gundah jiwanya. Diam-diam ia bisa
membedakan mana hasrat nafsu dibalik ibadah, hasrat nafsu dengan
kemanjaan dan khayalan, dan hasrat hati yang sesungguhnya.
“Wiisss…! Darwiiiiiiiisss! Kamu dimana Wis!...”
Asmat berteriak sekencang-kencangnya.
“Aku sejak tadi disini Mat. Di dekatmu….”
Asmat terkejut dan mulai menangis sesenggukan.