Darmo paling senang kalau ia mendapatkan amalan dan ijazah wirid dari
seorang Kyai. Bahkan ia benar-benar maniak “wirid”. Bukunya ada tiga
jilid, semua isinya tulisan tentang wirid, doa, dzikir, macam-macam,
sampai soal
pelet dan gendam pun ada di catatannya.
Buku itu ditenteng
kemana-mana, layaknya tukang kredit. Suatu hari ia ingin pamer pada
kawan lamanya yang sudah sekian tahun tidak bertemu, Kunto, nama kawan
itu.
“Kun, bagaimana perkembanganmu, apa kamu sudah punya amalan untuk pegangan hidupmu?”
“Saya nggak punya apa-apa Mo, saya hanya punya satu saja …”
“Lah, amalan kok satu, kurang sempurna Kun. Kalau saya nih…” katanya sambil menyodorkan tiga buku catatan amalan itu.
“Kamu mestinya jadi sarjana Mo..”
“Wah saya sudah S 7. Mestinya sudah lebih professor soal amalan…”
Kunto hanya senyum-senyum saja.
“Jadi kamu sudah bisa apa
saja Mo?”
“Jangankan samurai, peluru pun sudah nggak mempan.
Orang sekampung juga sudah mulai tahu kedigdayaanku ini…”
“Sakti donk kamu?”
“Begitulah…”
“Sesakti-sakti kamu, kalau ketemu isterimu kamu juga sudah takut bukan main….”
“Kok tahu kamu?”
“Tau saja. Apa artinya kesaktianmu….kalau begitu”
“Bukan
itu Kun. Wirid saya juga lengkap. Semua kalau diamalkan kita menjadi
paling sempurna. Ibarat bumbu paling lengkap punyaku. Tapi kalau kamu
kan Cuma satu….”
“Lha iya. Kalau kamu mau masak, semua bumbu kamu masukkan dalam masakan, jadinya rasa apa Mo…”
Darmo agak kebingungan.
“Iya..ya….Rasa apa ya? Tapi kan paling top kita…”
“Top
apanya, paling –paling malah dibuang semua, karena rasanya bukan
masakan lezat, malah jadi kayak jamu…mendem…siapa mau makan?”
Darmo memandangi begitu lama tiga catatan bukunya tak berkedip.
“Kalau kamu Cuma satu, itu amalan apa?”
“Akh sederhana. Satu itu kan Gusti Allah, tauhid…udah..”
Darmo
memandangi wajah Kunto dalam-dalam. Ia bergegas memasukkan buku
catatannya dalam tasnya. Ia tampak gelisah bukan main. Wajahnya pucat.
“Kun, kapan-kapan aku kesini lagi….”
“Pintu terbuka untukmu kawan. Syukur-syukur kamu sudah jadi dukun…