Senja di atas Indonesia teramat merah jingga, ketika syetan-syetan
berkelebat memenuhi cakrawala. Lalu Nabi saw, menyabdakan agar kita
menutup pintu-pintu rumah, menutup kendil dan makanan-makanan, menyuruh
anak-anak supaya segera masuk ke dalam rumah.
Sebab ketika senja menjelang surupnya, syetan berkeliaran di mana-mana.
Apa
yang terjadi ketika musim senja tiba? Sebuah fakta, bahwa kita segera
memasuki kegelapan malam. Jubah-jubah hitam membungkus bumi. Angin wabah
menusuk jantung. Hanya hati kita yang bergantung di langit, bersama
bintang-bintang, bahkan bersama siraman cahaya purnama. Hati kita.
Kita
sedang istirah dalam doa-doa malam. Kita ditunggu Allah di sepertiga
terakhirnya. Kita lampiaskan segala keluh kesah dan kekesalan atas
kezaliman. Kita sampaikan pula segumpal darah yang menyelinap di dalam
dada kita. Hati yang kita pasrahkan kepadaNya. Kita gemuruhkan
tabuhan-tabuhan tasbih, sholawat dan permohonan ampunan. Kita gali
sungai airmata dari mata air kemahaindahanNya (Jamaliyah-Nya). Sebab,
Fajar Kehidupan menunggu masa depan kita.
Itulah awalnya. Ketika,
kita bangun pagi, tiba-tiba di depan kita, negeri ini, adalah
reruntuhan. Ia dihadapkan pada kenyataan, betapa bangsanya hanyut dalam
mimpi 32 tahun, dan begitu bangun segalanya telah musnah. Dengan
tertatih-tatih bersama sisa-sisa waktu, ada seorang pemimpin
membangkitkan lagi semangat, menyalakan lagi api, meniupkan lagi
nafas-nafas masa depan, mengumpulkan kembali sisa-sisa bangunan, dan
mengaduk kembali mana yang bisa dipakai, mana yang harus dibuang,
sembari membawa bahan-bahan baru yang mengokohkan bangunan rumah bangsa
ini.
Dulu rumah bangsa ini runtuh karena dikuasai oleh
hantu-hantu politik, hantu-hantu koruptor, hantu-hantu mafioso. Hantu
itu beranak pinak, sampai menghuni seluruh sudut rumah bangsa, dan
berjuta-juta penghuni rumah itu mengikuti kegelapan demi kegelapan hantu
itu. Maka, ketika seorang Kiai menyalakan lilin dan menyiramkan cahaya,
hantu-hantu mulai gentayangan kembali mencari celah-celah untuk
mematikan lampu-lampu dan lilin-lilin itu. Kiai itu terjengah bukan
main, setiap kali ia menyalakan lampu dan lilin, ada badai meniupnya,
ada nafas-nafas malam yang kotor menyebulnya. Lalu sekuat tenaga ia
kobarkan cahaya, tetapi badai kegelapan juga sangat berbahaya, bahkan
mereka bagai siluman saling mengoyak, saling berebut untuk meniup
cahaya-cahaya itu.
Istana yang dulu dihuni oleh hantu, dipenuhi
oleh siluman negerinya, mulai sedikit bercahaya. Tetapi sayang sekali,
cahayanya tidak sampai menembus di Gedung Rakyat yang gelap gulita, di
wilayah Senayan sana. Sebab pesta kegelapan tak juga berakhir, sedangkan
gedung itu adalah milik rakyat yang merindukan cahaya-cahaya masa
depan.
Tak bisa dihindari akhirnya, sebuah pertempuran dahsyat
antara cahaya dan kegelapan, antara benderang hati dan gelapnya nafsu,
antara amanah-amanah yang harus dipikul dengan ambisi-ambisi yang ingin
merebutnya, antara ruang-ruang peradaban melawan lorong-lorong
mengerikan, antara mereka yang membawa kilat cakrawala dengan
kemunafikan-kemunafikan yang menutup mata hatinya, menyumpal telinga
jiwanya, membungkam lisan kebenarannya.
Tiba-tiba jarum jam
sejarah berputar cepat memasuki empat belas abad silam. Ketika Nabi
dengan para sahabatnya bertempur melawan angkara murka kafir-kafir
Quraisy di lembah dan bukit-bukit Uhud. Kemenangan hampir-hampir di
tangan, tiba-tiba kemunafikan menyelimuti sejumlah pasukannya, lalu
mereka tersungku dalam perebutan jarahan perang, dan akhirnya mereka
raih kekalahan.
Perang Uhud adalah kemenangan pasukan kegelapan,
pasukan kemunafikan, pasukan kefasikan, pasukan yang memberhalakan
duniawi, pasukan-pasukan berhala. Perang Uhud adalah kemenangan syetan
dan Iblis, kemanangan asap hitam yang menyesakkan seluruh dada penghuni
bumi, kemenangan siluman dengan sejuta topeng politiknya. Itulah
hebatnya kafir-kafir, ketika ia terdesak dalam kekalahannya, tiba-tiba
ia melemparkan umpan agar segera dijarah oleh hipokrit-hipokrit, sampai
mereka lupa diri, dan setelah itu dihancurkan.
Saya memasuki
kembali dunia normal saat ini. Di negeri ini, di alam nyata ini. Saya
melihat melihat harapan ketika memangkan sebuah pertempuran melalui
komitmen moral di padang pertempuran Badar Nusantara, dimana kekuatan
minoritas kebenaran hendak mengalahkan mayoritas kemungkaran. Tak
disangka, dalam membawa pasukan bangsa ini, kita harus melewati apa yang
disebut Perang Uhud Nusantara. Di bukit dan lembah-lembah Uhud
Nusantara, sesungguhnya strategi sudah dicanangkan, kemenangan sudah di
tangan, tetapi tiba-tiba kemunafikan mengoyak-ngoyak kita semua.
Konspirasi nafsu kita telah mengalahkan dan meniup cahaya kebenaran.
Sebuah bahaya besar mengguncang dari dalam tubuh bangsa ini, ketika
kapal besar bangsa ini menyeberangi bahtera menuju benua impian, dan
siap melawan bajak-bajak laut yang bertopeng mengerikan, tiba-tiba dari
dalam kapal muncul pemberontakan yang disulut oleh segelintir manusia
yang tidak menginginkan sang nakhoda dan wakil nakhoda bersatu menuju
benua itu. Pertempuran melawan bajak-bajak laut itu tengah berkecamuk,
dan kemenangan demi kemenangan diraihnya, tiba-tiba di saat hendak lari
dari samudera kebangsaan, bajak laut itu melempar pundi-pundi agar
diperebutkan para penunggang kapal besar bangsa ini.
Maka, bisa
dibayangkan, betapa riuh rendahnya suara berebut dalam kapal besar itu.
Melihat kenyataan seperti itu, bajak-bajak laut menyerang kembali, dan
merobek kapal besar itu. Gemrincing pertempuran semakin seru, dan
sungguh, kapal besar itu mulai tergenang gelombang samudera, pelan-pelan
mulai tenggelam.
Para bajak laut dan kaum hipokrit itu mulai
merayakan kemenangannya. Mereka berpesta, bahwa pasukan-pasukan
kebenaran telah kalah, dan mereka angkat wakil Nakhoda itu menjadi
pemimpin barunya, dengan kapal baru, dimana seluruh teknologi kapal itu
sudah dikuasai para pembajak itu. Sehingga nakhoda baru itu hanya bisa
mengikuti apa yang diperintahkan mereka.
Nakhoda dan seluruh
bangsa yang masih mengikutinya, mulai ditenggelamkan oleh koyakan
gelombang demi gelombang. Gelombang yang digerakkan oleh badai
kejahatan. Tiba-tiba Lautan Putih muncul di permukaan, menarik kapal
besar yang hendak tenggelam itu. Dan kapal itu pun bersandar pada pulau
kebenaran di dalam samudera. Pulau itu adalah pulau Khidhir, dimana ada
bangunan masjid yang dibangun dengan mutiara-mutiara hikmah dan
pengetahuan, menaranya menjulang sampai ke Baitul Ma’mur sana. Betapa
indah dan eloknya bangunan masjid itu, betapa agung dan megahnya
ruang-ruang besar di dalamnya. Di luar bangunan masjid Khidhir ada
bangunan-bangunan peradaban, bangunan Kota Ilahi yang dihuni oleh para
Sufi. Nakhoda itu bersandar di sana, dan seluruh bangsa yang telah
dibersihkan dari kemunafikannya.
Sementara para bajak laut dan
kaum munafiq, menganggapnya, bahwa Nakhoda dengan kapal besarnya telah
ditelan samudera, menjadi santapan hiu ganas, menjadi bangkai yang tak
akan pernah hidup lagi.
Lebih baik mereka menyangka demikian.
Biarkanlah, lebih baik mereka terus berpesta. Lebih baik mereka terus
membagi-bagi tugas kemenangan yang diraihnya. Lebih baik mereka terus
melaju dengan kapal hipokrianya. Lebih baik mereka terus melajukan
kapalnya menuju sebuah benua, bukan benua masa depan, tetapi benua masa
lalu tanpa hatinurani. Benua penyesalan.
Sebuah benua yang dituju
oleh nakhoda itu, sesungguhnya bukanlah benua impian Dan benar ketika
warna merah adalah merah senja yang jingga, bertepatan ketika kapal itu
sampai di dekat benua. Gerbangnya adalah tengkorak-tengkorak manusia,
sungainya adalah keringat rakyat, minumnya adalah darah,
makanan-makanannya adalah aspal jalan raya dan hutan-hutan kayu yang
dulu pernah rimbun penuh anugerah, pestanya adalah intrik-intrik
politik, kata-katanya adalah kotoran, bangunan-bangunannya adalah hasil
perampokan, menara-menara yang menjulang hanya sampai pada mendung hitam
yang menggantung di cakrawala. Bahkan matahari pun tak pernah
menembuskan cahayanya. Mengerikan.
Apa pun pesta yang sedang
diselenggarakan itu, apa pun foya-foya kegembiraan yang disebar-sebar
itu, apa pun bendera-bendera yang dikibarkan itu, masa lalu hanyalah
sebuah penyesalan. Kita tidak ingin mengecewakan bangsa ini, dengan
trauma-trauma, dengan darah dan kekerasan, dengan intrik, korupsi,
kolusi, nepotisme dan segala hal yang terus menerus berselingkuh di
balik celah-celah rumah bangsa.
Ayo! Kita berangkat! Menuju benua
impian kita, menuju demokrasi yang sesungguhnya, menuju cahaya
kebenaran yang dinyalakan oleh kalbu-kalbu kita. Jangan takut dan jangan
gelisah, karena kekasih-kekasih Tuhan itu tidak pernah takut dan tidak
pernah gelisah. Kita akan menaiki Kapal Jiwa bersama Allah, sebab, Allah
menyertai kita.
Saya merekam seluruh peristiwa itu. L;alu saya
tulis dengan tinta Lautan Khidhir dan gerak-gerik pena kefanaan jemari
kehambaan. Saya tulis di atas kertas dari Cahaya Lauhul Mahfudz, agar
kelak dibaca dan didengar oleh mereka yang sedang menyaksikan peradilan
sejarah bangsa ini, siapa sesungguhnya yang benar, siapa sesungguhnya
yang merekayasa, siapa sesungguhnya yang menjadi alat-alat, siapa
sesungguhnya yang berselingkuh dalam kemunafikan, siapa sesungguhnya
lawan yang sesungguhnya.
Saya mencoba menahan keharuan yang
mengembang di atas kelopak mata. Tetapi dada telah basah oleh airmata.
Terkadang yang tampak di depan mata saya adalah Sayyidina Al-Husein yang
dikhianati dan dizalimi, terkadang yang tampak adalah pemuka Syuhada’
Sayyidina Hamzah yang jadi korban kemunafikan di lembah Uhud. Kadang
yang tampak adalah senyum Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang miskin,
kadang yang tampak adalah kegagahan Sholahuddin Al-Ayyubi. Kadang yang
tampak adalah peristiwa kekalahan, lalu yang mengembang dari putik
melati adalah aroma moral sejati seorang negarawan. Kadang yang tampak
adalah Sayyidina Ali yang ditikam oleh intrik kemunafikan, kadang yang
tampak adalah keelokan Yusuf yang dirobek bajunya dari belakang oleh
nafsu Zulaikha.
Mungkin saja membuat anda muak, ketika nafsu anda
bergerak membuka lembar demi lembar kebenaran. Mungkin saja jantung
anda tertusuk, ketika darah hitam duniawi membisul dalam segumpal
jantung anda. Mungkin saja bibir anda menyungging ke arah sudut paling
sinis, ketika ambisi dan keangkuhan anda yang membaca. Bahkan tulisan
ini menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan mengusir nurani anda,
ketika anda membaca dengan kacamata kemunafikan.
Bacalah dengan
mata hati dan kalbu kehambaan: Jika tulisan ini terasa pahit, biarlah
jadi penyembuh duka anda. Jika terasa manis, semoga jadi penghangat
kebekuan anda. Jika terasa asam, semoga pengejut kealpaan hati anda.
Jika terasa pedas, jadikanlah sambal hidangan makanan jiwa anda. Jika
terasa asin, itulah memang sari lautan yang mentralisir kebingunan anda.
Selebihnya, Wallahu A’lam bish-Shawab.