Dikisahkan bahwa Abu Yazid al-Bisthami ra, berkata, “Aku melihat
kondisi ibadahku, lalu aku lihat penuh dengan campur aduk. Lalu aku
melihat nafsuku dan anatominya, ternyata semuanya berhubungan dengan
setiap cobaan.
Aku pun melihat nafsu tidak pernah sunyi dari syirik, sedangkan aku tahu
Allah Ta’ala tidak pernah menerima syirik.”
Aku katakan pada nafsu,
“Wahai tempat segala keburukan! Sampai berapa kali engkau dipanggil
Allah Ta’ala agar bertauhid padaNya, sedangkan dirimu tidak mau
memandangNya?”
Lantas di hatiku ada kegelisahan hebat, karena
gundahnya kemusyrikan itu. Lalu aku berpegangan dan mempersiapkan tungku
perapian untuk cetakan emas, lalu aku nyalakan dengan api kebenaran,
lalu kuletakkan di dalamnya ikatan agama, lalu aku tegakkan sandaran
Keesaan, kemudiaan aku pukul-pukul dengan pemukul perintah dan larangan,
dan begitu panjang penderitaanku, namun ketika aku memandangnya,
kutemui nafsu itu tetap musyrik!”.
Lalu kukatakan, “Innaa Lillahi wa Innaa Ilaihi Roji’un”. Sungguh
nafsu tak pernah lekang karena kegersangan yang keras, siapa tahu ia
bisa hancur dengan kelembutan, kehalusan dan keindahan. Lalu kumasukkan
nafsu ke dalam kebun ingatan anugerah, kuletakkan dihadapannya, dua
aroma angin sepoi dari kelembutan dan kemuliaan, lalu kuhembuskan hawa
kasih sayang yang lembut, kebaikan dan kebajikan, begitu lama aku
menderita karenanya. Namun ketika aku teliti, kutemui nafsu itu tetap
musyrik!”.
Kukatakan padanya, “Wahai tempat segala kejahatan dan bencana. Kamu
tidak akan bisa bagus karena panas yang keras, juga tidak bisa
dijinakkan dengan kelembutan! Lalu kukembalikan pada istana Ahadiyah,
agar dihajar dengan batu Wahdaniyah, dan dicuci dengan air bening
Shomadaniyah, dan begitu terus menerus ia tercuci di sana dengan harapan
agar nafsu menjadi bersih dari syirik, begitu lama aku menderita, namun
ketika aku melihatnya lagi, ia tetap saja musyrik!”.
Kukatakan,
“Innaa Lillaah!” Siapa tahu memperbaiki nafsu itu dari sisi lain. Lalu
kuletakkan nafsu itu pada perempuan yang sedang sakit berdarah pada
kelaminnya, terus menerus aku memandangnya seperti kebingungan dan
seperti terdesak. Aku melihat bencana di balik peristiwa itu, sampai aku
sendiri putus asa. Dan aku tahu, aku bakal tidak pernah sampai
tujuanku. Akhirnya aku cerai nafsu itu hingga talak tiga, dan aku
tinggalkan. Jadilah aku sendiri menuju Tuhanku dan aku memohon
kepadanya: “Ya ‘Azizi, aku mohon padaMu, yang tak tersisa pun permohonan
itu selain kepadaMu, agar aku merdeka dari perbudakan selain kepadaMu.”
Maka,
ketika Allah Ta’ala mengetahui kebenaran doaku, dan putus asanya diriku
dari nafsuku, itulah awal terijabahnya doaku agar aku bisa melupakan
nafsuku secara total.”
Dunia & Orang Kafir
Diantara
cita yang luhur antara lain apa yang dikatakan kepada abu Abdullah:
“Jika Allah memberikan kepadamu dunia seisinya, apa yang anda lakukan?”
“Kalau bisa, akan aku jadikan satu suapan, kemudian aku timpakan pada mulut si kafir, pasti akan aku lakukan!” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena
Allah swt marah pada orang kafir dan pada dunia secara bersamaan. Lalu
aku pun berbuat demikian, agar menimpa pada masing-masing yang terkena
amarah.”
Lalu beliau mengisahkan kisah yang benar, bahwa seorang raja
Hirah (nama sebuah kota) mengutus untuk mengirimkan tujuh kantong
berat berisi gandum. Ketika itu Syeikh sedang berada di Hirah dengan
para muridnya, lantas makanan disajikan oleh para pembantunya.
Syeikh Abu Abdullah berkata padanya, “Kasihkan semuanya yang ada (tersisa) kepada seluruh orang miskin. “
“Tidak mungkin, semua pintu tertutup,” kata sang pembantu.
“Kalau begitu bawa saja ke orang-orang Majusi yang jadi tetangga kita…” kata Syeikh.
“Saya takut ancaman siksa Allah Ta’ala karena meninggalkan perintahNya..”
Toh
kami akhirnya memberikan juga kepada kaum Majusi. Tiba-tiba dinihari
mereka datang dan bertanya, “Apa hikmah pemberian anda pada kami,
padahal kami berbeda dan kontra dengan anda?”
“Dunia itu musuh Allah.
Dan orang kafir juga musuh Allah. Seorang pecinta tak akan mendekat
pada kekasihnya, hingga kekasihnya menjauhi musuhnya.”
Akhirnya mereka itu masuk Islam semuanya di hadapan Syeikh.
Tidak Ingin Selain Dia
Suatu
hari sebagian para penempuh Jalan Sufi sedang berjalan di pelosok,
tiba-tiba dirinya berbicara untuk suatu hajat, ternyata ia sudah ditepi
sumur. Lalu ia lembarkan bejana air ke dalamnya untuk kepentingan minum.
Namun ketika bejana keluar, sudah dipenuhi dengan emas. Bejana itu pun
ia lempar ke dalam sumur sembari berkata, “Oh Tuhan Yang Maha Agung, aku
tidak ingin selain diriMu…”
Ammar al-Qurasy ra mengatakan, “Suatu hari aku di pesolok desa, aku
ingin memanggil karena suatu kebutuhan mendesak. Kuambil sapu tangan
dari guruku, lalu kusobek dua belah. Aku pakai separo, dan aku basahi
satu lagi. Yang terjadi malah muncul konflik dalam diriku soal
kebutuhanku. Tiba-tiba seluruh desa itu menjadi perak semua. Aku pun
berlalu sembari munajat, “Ilahi, aku mohon perlindungan darimu atas
kehendak selain padaMu
Imam Zainul Abidin Ali bin al-Hasan ra,
mengatakan, “Ketika aku berada di tempat Abu Abdullah al-Husain as,
kubaca sebagian kitab. Di tangannya ada sebilah belati. Kulihat ada
hurup yang salah, lalu kukatakan, “Coba pisaumu, akan kugunakan
membenarkan huruf ini.”
Aku dapatkan pisau itu, dan ketika sudah selesai tugasku, kukembalikan.
“Wahai Ali, jangan ulangi lagi seperti ini, anda akan terjatuh pada hinanya permintaan dan rendahnya cita-cita.!”
Burung Dan Ikan Hiu
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya, “Aku dengar anda berjalan di atas air dan terbang di atas udara.”
“Orang
beriman lebih memuliakan Allah Azza wa-Jalla ketimbang langit shaf
tujuh. Apa yang perlu dikagumi dari sekadar berjalan di air dan terbang
di udara, seperti posisi burung dan ikan hiu?”.
Nabi Musa AS dan Trenggiling
Suatu
saat Nabi Musa as melewati pantai sepanjang laut. Lalu ia bermunajat,
“Tuhanku, lelah sekali kedua dengkulku, dan berat sekali punggungku. Oh
Kekasihku, apa yang hendak kau berlakukan padaku ini?”
Allah pun mengutus binatang Trenggiling untuk menjawabnya.
“Wahai
anak Imran, apakah kau berharap pada Tuhanmu, dengan ibadahmu padanya?
Bukankah Allah telah memilihmu dan berbicara padamu, dan membuatmu dekat
dan bermunajat padaNya? Demi Yang menciptakanku dan Melihatku,
sesungguhnya aku berada di padang sahara ini sejak 360 tahun, selama itu
aku bertasbih siang malam, sedikit pun aku tidak berpaling dariNya. Dan
sejak tiga hari lalu aku tidak makan. Bahkan setiap saat gemreteglah
tulang-tulangku karena Maha BesarNya.”
Ujian Tawakkal
Abu
Said Abul Khair ra menegaskan, “Suatu hari aku menuju pelosok desa,
rasa lapar benar-benar mencekam. Nafsuku meronta agar memohon kepada
Allah Ta’ala, lalu kukatakan, “Itu bukan perilaku orang yang tawakkal.”
Lalu nafsuku menuntutku agar bersabar. Namun ketika aku berhasrat untuk
kedua kalinya, ada bisikan lembut:
Adakah ia bodoh bahwa Kami lebih dekat?
Kami
tak pernah menelantarkan siapa yang datang kepada Kami, Abu Said ingin
memohon sabar seakan Kami tak melihatnya dan tidak tahu.
Sebagian
Syeikh Sufi mengatakan, “Aku pernah melihat seorang pemuda di Masjidil
Haram sedang dalam kondisi menderita dan kelaparan, saya sangat kasihan
padanya. Aku punya seratus dinar dalam kantong, lalu kudekati dia. “Hai
sayang, ini buat kebutuhan-kebutuhanmu…”
Pemuda itu tidak menoleh
sama sekali padaku, dan aku terus mendesaknya. Pemuda itu berkata, “Hai
Syeikh, dinar ini sesuatu yang tidak bisa aku jual dengan syurga dan
seisinya. Syurga itu negeri keagungan, asal sumber keteguhan dan
keabadian. Bagaimana aku menjualnya dengan harga yang hina?”
Makanan Syurgawi
Abu Bakr al-Wasithy ditanya, “Apakah anda ingin makanan?”
“Ya,” jawabnya.
“Makanan apa?”
“Satu
suapan dari dzikrullah, dengan kejernihan yaqin, dan di atas sajian
ma’rifat, dengan tegukan air husnudzon dari wadah ridlo Allah Swt.”