Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Istilah galau sedang ngetren.
Banyak dipakai dan digunakan, khususnya dikalangan ABG (remaja dan
pelajar). Ada istilah SMS Galau, Status Galau, Pesan galau, kata-kata
galau dan semisalnya. Intinya, menggambarkan kondisi perasaan atau
pikiran yang tidak enak. Perasaan tidak menentu. Rasanya ada yang
kurang. Ada yang tidak beres. Tidak jelas apa sebabnya.
Kalau menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi IV (2008) halaman 407, dikatakan “galau” itu berarti
kacau (tentang pikiran); “bergalau” berarti (salah satu artinya) kacau
tidak keruan (pikiran); dan “kegalauan” berarti sifat (keadaan hal)
galau. Jika merujuk ke definisi ini, keadaan galau adalah saat pikiran
sedang kacau tak keruan. Orang yang tengah galau pikirannya sedang
kacau.
Hampir setiap orang pernah mengalami
galau. Karena tabiat manusia sering berdosa. Dan dosa menjadi sesuatu
yang tak bisa lepas dalam kehidupan manusia. berdosa juga menjadi tanda
akan insaniyahnya. Karena setiap manusia pastilah berdosa sehingga dia
harus menunduk dan merendahkan diri bertaubat dan memohon ampunan kepada
Tuhannya.
Berikut ini ini penawar yang diajarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
saat galau datang, kesedihan hinggap, perasaan tak menentu menyerang.
Sangat mujarab dan ampuh dosa ini sebagaimana yang dikabarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan kegelisahan (kegundahan)-nya serta menggantikannya dengan kegembiraan."
__________________
__________________
اللَّهُمَّ
إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ
مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ
هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ
عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ
الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ
صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي
Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku
adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu.
Ubun-ubunku berada di tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku pada diriku.
Ketetapan-Mu adil atas diriku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama
yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau
Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang
dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada
di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al-Qur'an sebagai penyejuk hatiku,
cahaya bagi dadaku dan pelipur kesedihanku serta pelenyap bagi
kegelisahanku."
________________
________________
Doa di atas didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Mas'ud radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah
seseorang tertimpa kegundahan (galau) dan kesedihan lalu berdoa (dengan
doa di atas) . . . melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan
kegelisahan (keundahan)-nya serta menggantikannya dengan kegembiraan.
Ibnu Mas'ud berkata, "Ada yang bertanya, 'Ya Rasulallah, bolehkah kita mempelajarinya?' Beliau menjawab,
'Ya, sudah sepatutnya orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya'."
(HR. Ahmad dalam Musnadnya I/391, 452, Al-Hakim dalam Mustadraknya
I/509, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya VII/47, Ibnu Hibban dalam
Shahihnya no. 2372, Al-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir no. 10198 –dari
Maktabah Syamilah-. Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dan
muridnya Ibnul Qayyim, keduanya banyak menyebutkannya dalam kitab-kitab
mereka. Juga dihasankan oleh Al-Hafidz dalam Takhriij Al-Adzkaar dan
dishahihkan oleh Al-Albani dalam al-Kalim al Thayyib hal. 119 no. 124
dan Silsilah Shahihah no. 199.)
Apabila yang Berdoa Seorang Wanita
Bentuk lafadz doa di atas untuk mudzakar (laki-laki), Ana 'Abduka (aku hamba laki-laki-Mu), Ibnu 'Abdika Wabnu Amatik
(anak laki-laki dari hamba-laki-laki-Mu dan anak laki-laki dari hamba
perempuan-Mu). Kalau yang berdoa adalah laki-laki tentunya lafadz
tersebut tepat dan tidak menjadi persoalan. Namun, bila yang berdoa
seorang muslimah, apakah dia harus mengganti lafadz di atas dengan
bentuk mu'annats (untuk perempuan), yaitu dengan Allaahumma Inni Amatuk, Ibnatu 'Abdika, Ibnatu Amatik (Ya Allah aku adalah hamba wanita-Mu, anak perempuan dari hamba laki-laki-Mu dan anak perempuan dari hamba perempuan-Mu)?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah
ditanya tentang seorang wanita yang mendengar doa di atas, tapi dia
tetap berpegang dengan lafadz hadits. Lalu ada yang berkata padanya,
ucapkan, "Allahumma Inni Amatuk . . . ." namun dia menolak dan tetap memilih lafadz dalam hadits, apakah dia dalam posisi yang benar ataukah tidak?
Kemudian beliau menjawab, "Selayaknya dia mengucapkan dalam doanya, "Allahumma Inni Amatuk, bintu amatik . . ." dan ini adalah yang lebih baik dan tepat, walaupun ucapannya, 'Abduka, ibnu 'abdika
memiliki pembenar dalam bahasa Arab seperti lafadz zauj (pasangan; bisa
digunakan untuk suami atau istri-pent), wallahu a'lam." (Majmu' Fatawa
Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah: 22/488)
Syaikh Abdul 'Aziz bin Baaz rahimahullah pernah juga ditanya tentang cara berdoanya seorang wanita dengan doa tersebut. Apakah wanita itu tetap mengucapkan, "wa ana 'abduka wabnu 'abdika" (dan saya adalah hamba laki-laki-Mu dan anak laki-laki dari hamba laki-laki-Mu) ataukah harus mengganti dengan, "Wa ana amatuk, ibnu 'andika atau bintu 'abdika"?
Beliau rahimahullah menjawab,
"Persoalan ini luas Insya Allah, Persoalan dalam masalah ini luas.
Apabila wanita itu berdoa sesuai dengan hadits, tidak apa-apa. Dan jika
berdoa dengan bentuk yang ma'ruf bagi wanita, Allahumma innii amatuk, wabnutu 'abdika, juga tidak apa-apa, semuanya baik."
Kandungan Doa
Doa di atas mengandung persoalan-persoalan pokok dalam akidah Islam di antaranya:
1. Rasa galau, gundah dan sedih yang menimpa seseorang akan menjadi kafarah (penghapus dari dosanya) berdasarkan hadits Mu'awiyah radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sabda,
مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِي جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
"Tidak ada sesuatu yang menimpa
seorang mukmin pada tubuhnya sehingga membuatnya sakit kecuali Allah
akan menghapuskan dosa-dosanya." (HR. Ahmad 4/98, Al-Hakim 1/347
dan beliau menyatakan shahih sesuai syarat Syaikhain. Imam al-Dzahabi
menyepakatinya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam al-Shahihah
5/344, no. 2274)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
مَا
يُصِيبُ الْمُسْلمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ
وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ
اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
"Tidaklah menimpa seorang muslim
kelelahan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan dan duka, sampai pun
duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah akan menghapus dengannya
dosa-dosanya.” (Muttafaqun alaih)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin
(1/94): “Apabila engkau ditimpa musibah maka janganlah engkau
berkeyakinan bahwa kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu, sampaipun
duri yang mengenai dirimu, akan berlalu tanpa arti. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
akan menggantikan dengan yang lebih baik (pahala) dan menghapuskan
dosa-dosamu dengan sebab itu. Sebagaimana pohon menggugurkan
daun-daunnya. Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, bila musibah itu terjadi dan orang yang tertimpa musibah itu:
a. Dia mengingat pahala dan
mengharapkannya, maka dia akan mendapatkan dua balasan, yaitu menghapus
dosa dan tambahan kebaikan (sabar dan ridha terhadap musibah).
b. Dia lupa (akan janji Allah Subhanahu wa Ta'ala), maka akan sesaklah dadanya sekaligus menjadikannya lupa terhadap niat mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.
Dari penjelasan ini, ada dua pilihan
bagi seseorang yang tertimpa musibah: beruntung dengan mendapatkan
penghapus dosa dan tambahan kebaikan, atau merugi, tidak mendapatkan
kebaikan bahkan mendapatkan murka Allah Ta’ala karena dia marah dan
tidak sabar atas taqdir tersebut.”
2. Kedudukan ubudiyah
merupakan tingkatan iman tertinggi. Karenanya, seorang muslim wajib
menjadi hamba Allah semata dan senantiasa beribadah kepada-Nya, Dzat
yang tidak memiliki sekutu. Hal ini ditunjukkan lafadz, Inni 'Abduka Wabnu 'Abdika Wabnu Amatik (Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu).
3. Semua urusan hamba berada di tangan Allah yang diarahkan sekehandak-Nya. Dan masyi'ah (kehendak) hamba mengikuti kehendak Allah. hal ini ditunjukkan oleh lafadz, Naashiyatii biyadik (Ubun-ubunku berada di tangan-Mu).
4. Allah yang berhak
mengadili dan memutuskan perkara hamba-hamba-Nya dalam perselisihan di
antara mereka. Hal ini ditunjukkan oleh lafadz, 'Adlun fiyya qadla-uka (Ketetapan-Mu adil atas diriku). Allah Ta'ala berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
"Keputusan itu hanyalah kepunyaan
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, . ." (QS. Yuusuf: 40)
5. Ketetapan takdir-Nya
adil dan baik bagi seorang muslim. Jika dia mendapat kebaikan,
bersyukur, dan itu baik baginya. Sebaliknya, bila tertimpa keburukan
(musibah atau bencana) dia bersabar, dan itupun baik baginya. Semua
perkara orang mukmin itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh
ornag beriman. (HR. Muslim)
6. Anjuran untuk
bertawassul dengan Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang Mahaindah) dan
sifat-sifatnya yang Mahatinggi. Allah perintahkan sendiri bertawassul
dengannya dalam firman-Nya,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
"Hanya milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu . ." (QS. Al-A'raaf: 180)
7. Nama-nama Allah dan sifat-sifatnya adalah tauqifiyyah yang
tidak diketahui kecuali melalui wahyu. Allah sendiri yang menamakan
diri-Nya dengan nama-nama tersebut dan mengajarkannya kepada para
hamba-Nya.
8. Nama-nama Allah tidak terbatas pada 99 nama. Hal ini ditunjukkan oleh lafadz, awis ta'tsarta bihii fii 'ilmil ghaibi 'indaka (atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu).
Sedangkan hadits yang menerangkan jumlah nama Allah ada 99,
إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, siapa yang menghafalnya pasti masuk surga."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut imam al-Khathabi dan lainnya, maknanya
adalah seperti orang yang mengatakan "Saya memiliki 1000 dirham yang
kusiapkan untuk sedekah," yang bukan berarti uangnya hanya 1000 dirham
itu saja. (Majmu' Fatawa: 5/217)
9. Al-Qur'an memberi
petunjuk kepada jalan yang paling lurus. Keberadaannya laksana musim
semi bagi hati orang mukmin, memberi kenyamanan pada hatinya, menjadi
cahaya bagi dadanya, sebagai pelipur kesedihannya, dan penghilang bagi
kesusahannya. Hal ini menunjukkan kedudukan Al-Qur'an yang sangat tinggi
dalam kehidupan manusia, baik individu, masyarakat, atau suatu umat.
10. Siapa yang datang
kepada Allah pasti Allah akan mencukupkannya, siapa yang menghaturkan
kefakirannya kepada Allah, Dia pasti mengayakannya. Siapa yang meminta
kepada-Nya, pasti Dia akan memberinya. Hal ini ditunjukkan lafadz
hadits, "Melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan kesusahannya
serta menggantikannya dengan kegembiraan."
11. Wajib mempelajari Al-Sunnah dan mengamalkan serta mendakwahkannya. Sesungguhnya Sunnah memuat petunjuk kehidupan manusia secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan oleh kalimat di ujung hadits, "Ya, sudah sepatutnya orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya."