Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Kepada kaum muslimin kami berpesan,
supaya bertakwa kepada Allah setiap saat. Istiqamah dalam mengamalkan
ajaran Islam. Hendaknya takut kepada Allah dan selalu mendekatkan diri
kepada-Nya di mana saja berada. Lalu melakukan introspeksi diri,
sehingga tidak meninggalkan apa yang telah Allah wajibkan dan tidak
menerjang apa yang telah Dia larang atas kalian.
Kami juga berwasiat agar terus
bertafaqquh fiddin (mengkaji Islam), mempelajari kaidah-kaidah dasar
Islam dan mengetahui masalah halal dan haram. Karena di sanalah letak
kebaikan umat Islam. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
"Siapa yang kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan jadikan orang itu fakih terhadap dien." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya, dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu 'Anhu)
Yufaqqihu,
maknanya: menganugerahkan kecerdasan, pengetahuan, dan kefahaman
terhadap urusan Islam (hukum-hukum syar'i). Faham di sini adalah faham
yang membuahkan amal shalih agar kefahaman dan ilmunya tersebut tidak
menjadi bumerang bagi dirinya. Karena siapa yang tidak mengamalkan ilmu
yang telah dipahaminya, ia termasuk orang yang mendapat murka,
sebagaimana yang tersebut dalam hadits shahih, "Al-Qur'an itu menjadi
pembelamu atau yang memberatkanmu."
Allah Subhanahu wa Ta'ala
dengan tegas mencela orang yang memahami kebenaran dan telah
menyampaikannya kepada yang lain, namun ia sendiri tidak mengamalkannya.
Allah Ta'ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ
مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan." (QS. Al-Shaff: 2-3)
. . . siapa yang tidak mengamalkan ilmu yang telah dipahaminya, ia termasuk orang yang mendapat murka . .
Saat menjelaskan hadits di atas, banyak ulama menyebutkan juga hadits lain, dari Abu Musa al-Asy'ari, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda, "Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang dengannya
Allah mengutusku adalah seperti air hujan yang turun ke tanah. Di
antaranya ada tanah yang subur yang menyerap air sehingga menumbuhkan
tanaman dan rerumputan yang banyak. Ada juga tanah tandus yang menahan
air sehingga orang-orang bisa memanfaatkannya; mereka minum darinya,
memberi minum ternaknya, dan mengairi tanaman. Ada juga tanah yang
keras; tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan
tanam-tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah,
lalu ia mengambil manfaat apa yang dengannya Allah mengutusku, sehingga
ia belajar dan mengajarkannya. Dari sisi lain ada orang yang tidak mau
mengambil manfaat darinya, serta orang yang sama sekali tidak menerima
petunjuk Allah yang dengannya aku diutus." (Muttafaq 'Alaih)
Dalam kitab Miftah Daar al-Sa'adah
(1/60-61), milik Ibnul Qayyim, beliau menjelaskan, manusia dilihat dari
sisi kesiapan dan kesediaannya menerima risalah (ajaran) yang dibawa
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam tiga bagian;
Pertama, ada orang yang menghafal, memahami maksudnya, dan mampu
menyimpulkan hukum, hikmah dan faedah-faedahnya. Mereka inilah yang
diumpamakan sebagai tanah yang bisa menerima air. Hafalan itu seperti
tanah yang menumbuhkan tanaman yang sangat banyak. Sedangkan pemahaman,
ma'rifah, istimbath adalah seperti penumbuhan tanaman dengan air. Inilah
perumpamaan para huffaz, fuqaha', dan ahlul hadits.
Kedua, orang yang diberi hafalan dan
ucapan, lalu mencatatnya, tetapi mereka tidak dberi pemahaman makna dan
kemampuan menyimpulkan hukum, mengungkap hikmah dan faidahnya. Mereka
itu seperti orang yang membaca dan menghafalkan Al-Qur'an, juga
memperhatikan huruf dan i'rabnya, tetapi mereka tidak diberi pemahaman
khusus dari Allah.
Manusia memiliki pemahaman yang sangat
beragam. Cukup banyak yang hanya mampu memahami satu atau dua hukum, dan
ada juga yang sanggup memahami seratus atau dua ratus hukum. Mereka itu
seperti tanah yang menahan air air untuk kepentingan orang banyak,
untuk minum, memberi minum ternak, dan menyiram tanaman.
Kedua macam manusia di atas termasuk orang-orang yang bahagia. Macam pertama, derajatnya lebih tinggi dan terhoقmat,
"Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Jumu'ah: 4)
Ketiga, manusia yang tidak mendapatkan
bagian; baik berupa hafalan, pemahaman, riwayah, maupun dirayah. Jika
diumpamakan mereka ini laksana tanah tandus yang tidak bisa menumbuhkan
tumbuhan dan tidak pula menyimpan air. Mereka itu orang-orang celaka.
Macam dua pertama, orang-orang yang
sama-sama belajar dan mengajar, masing-masing sesuai dengan apa yang
dimilikinya. Satu bagian mengetahui lafaz-lafaz Al-Qur'an dan
menghafalnya. Satunya lagi, memiliki pengetahuan tentang makna, hukum,
dan ilmu-ilmunya.
Adapun golongan ketiga adalah
orang-orang yang tidak mempunyai ilmu dan tidak pula bergelut dalam
dunia pengajaran. Mereka itulah yang tidak mau menyambut dan menerima
petunjuk Allah. Mereka itu lebih buruk dari binatang ternak dan akan
menjadi bahan bakar neraka.
Hadits di atas mencakup penjelasan
tentang kemuliaan ilmu agama dan mengajarkannya serta keagungan
statusnya. Juga mencakup kesengsaraan orang-orang yang tidak
memilikinya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyebutkan
beberapa macam manusia ditinjau dari sisi ilmu tersebut, bahwasanya di
antara mereka ada yang memperoleh kebahagiaan dan ada pula yang celaka
dan sengsara. (disarikan secara ringkas)
Maka siapa yang Allah Ta'ala kehendaki
kebaikan padanya, Dia akan buka hidayah hatinya dan menjadikan ia paham
terhadap dien ini, Allah jadikan pemahaman terhadap nash syar'i pada
hatinya, sehingga ia mampu memahami Al-Qur'an dan hadits.
. . . siapa yang tidak mengetahui urusan dien (Islam) maka ia termasuk orang yang tidak dikehendaki oleh Allah menjadi baik. . .
Sebaliknya, siapa yang tidak mengetahui urusan dien (Islam) maka ia termasuk orang yang tidak dikehendaki oleh Allah menjadi baik. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari berkata, "Mafhum hadits bahwa orang yang tidak bertafakkuh fiddin, yakni tidak belajar kaidah-kaidah Islam dan cabang-cabangnya, maka sungguh ia diharamkan kebaikan. Abu Ya'la mengeluarkan hadits Mu'awiyah dari jalur lain yang dhaif, ditambahkan di ujungnya, "Siapa yang tidak dijadikan paham terhadap dien, maka Allah tidak peduli kepadanya." Makna hadits ini adalah shahih, karena siapa yang tidak mengetahui perkara-perkara (ajaran) agamanya, maka ia bukan seorang fakih dan tidak pula mencari pengetahuan, sehingga pantas ia disifati bahwa ia tidak dikehendaki mendapatkan kebaikan."