REPUTASI NABI MUHAMMAD SAW
Baginda Nabi kita Muhammad SAW dikenal sebagai seorang pemimpin yang
sederhana dan suka membantu umatnya dengan tangannya sendiri secara
langsung. Dari Ibnu Abid-Dunia pernah mengabarkan, Rasulullah adalah
sosok pemimpin yang selalu membantu orang dengan tangannya sendiri.
Beliau menambal bajunya pun dengan tangannya sendiri. Beliau bahkan
tidak pernah makan siang dan malam secara teratur selama tiga hari
berturut-turut, sehingga beliau kembali ke rahmatullah.
Tarmidzi memberitakan dari Ibnu Abbas ra. Katanya: “Rasulullah Salallahu
Alaihi Wassalam sering tidur malam demi malam sedang keluarganya
berbalik-balik di atas tempat tidur karena kelaparan, karena tidak makan
malam. Dan makanan mereka biasanya dari roti syair yang kasar. Bukhari
pula meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. katanya: Pernah Rasulullah
mendatangi suatu kaum yang sedang makan daging bakar, mereka mengajak
beliau makan sama, tetapi beliau menolak dan tidak makan. Dan Abu
Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW meninggal dunia, dan beliau belum
pernah kenyang dari roti syair yang kasar keras itu.” (At-Targhib
Wat-Tarhib, 5:148 dan 151)
Inilah Rasulullah Sang Pemimpin
sungguhan yang semua perilakunya layak menjadi teladan. Beliau selalu
menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri dan
keluarganya. Pola hidupnya sederhana meskipun beliau bisa memilih hidup
kaya bila beliau mau.
Maka tidak salah jika Beliau berwibawa
bukan karena menggunakan kekuasaan, kekerasan atau kekayaan. Beliau
tidak perlu ngasih makanan dan pakaian gratis kepada umat. Beliau
berwibawa karena dicintai oleh umatnya. Sekali lagi dia dicintai selain
karena akhlaknya yang mulia juga karena Beliau telah menjadikan agama
sebagai asas dan worldview bagi setiap perilakunya.
Karena
itulah, Will Durant dalam “The Story of Cifilization” ketika
mengomentari keberhasilan kepemimpinan Nabi Muhammad Salallahu Alaihi
Wassalam mengatakan, “Dia berhasil lebih sempurna dari pembaharu
manapun, belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan
mimpi-mimpinya seperti Dia. Dia datang seperti sepercik sinar dari
langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan
butir-butir debu menjadi mesin yang membakar angkasa sejak Delhi hingga
Granada.”
Napoleon Bonaparte juga pernah menulis, “I prise god
and have references for the holy prophet Muhammad and the holy Qur’an.”
(saya menyembah Tuhan, tapi juga memuji Muhammad dan al-Qur’an).
Sementara Micheal Hart menulis, “A striking example of this my rangkin
Muhammad higher than jesus, in large part because of my believe that
Muhammad had a much greater personal influence on the formulation of the
christian religion.” (sebuah contoh yang sangat tegas adalah urutan
Muhammad lebih tinggi dari yesus, terutama disebabkan oleh pengaruhnya
yang luar biasa pada perumusan agama yang dianut orang Islam melebihi
perumusan Yesus terhadap agama Kristen).
Dari beberapa
pernyataan di atas, setidaknya dapat diambil benang merah bahwa
keberhasilan Nabi Muhammad sebagai pemimpin, baik spiritual maupun
negara, tidak hanya membuat bangga para pengikutnya melainkan juga dapat
menggetarkan jiwa dan memukau hati manusia seantero alam
Apa
yang membedakan cara Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam memimpin
umatnya dan mengelola negara dengan para pemimpin-pemimnpin jaman ini?
Jawabannya, tidak lain disamping kepribadian beliau (Muhammad) yang
agung dan sangat memukau juga karena beliau menjadikan agama (Islam)
sebagai panglima dari kekuasaan. Sementara pemimpin abad ini, selalu
menjadikan politik sebagai panglima.
Menariknya diawal dakwah, Allah mengharuskan Nabi Muhammad mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bukan bendera lainnya.
Misalnya ada peluang, bahwa Nabi yang dikenal Al Amien alias terpercaya
sebelumnya, ia berpotensi sebagai pemersatu bangsa arab, ditengah
dominasi Romawi dan Persia yang mendominasi ketika itu. Apalagi bangsa
arab ada masalah karena banyaknya perpecahan kabilah atau kesukuan, dan
jika Nabishollallahu ’alaih wa sallam berhasil mempersatukan bangsa Arab
yang semula berpecah, maka beliau yang dikenal sebelumnya sebagai
manusia terpercaya atau al amien, akan diberi hak memimpin dan berkuasa.
Lalu beliau selanjutnya akan berpeluang memanfaatkan posisi tersebut
untuk menanamkan aqidah Tauhid sesuai perintah Allah.
Bukankah ini strategi yang lebih bijaksana?
Daripada harus berkonfrontasi sejak hari pertama dengan bangsa sendiri,
bukankah mengibarkan panji Nasionalisme Arab menjadi langkah yang bisa
lebih mulus dan penuh maslahat ?
Barangkali ada yang mengatakan
: Adalah sepantasnya bagi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam,
setelah bangsa Arab memperkenankan seruannya dalam bentuk yang seperti
ini, dan setelah menyerahkan pimpinan dan kekuasaan kepadanya, setelah
ia mengumpulkan kekuasaan di tangannya dan kemuliaan di atas kepalanya,
baru setelah itu ia mempergunakan semuanya ini untuk menanamkan aqidah
tauhid yang dengannya ia telah diutus, menghambakan manusia kepada
kekuasaan Tuhan mereka, setelah ia menghambakan mereka kepada kekuasaan
manusiawi dirinya sendiri.
Tetapi Tuhan Yang Mahasuci, yaitu
Yang Maha tahu dan Maha bijaksana, tidak mengarahkan RasulNya s.a.w. ke
arah yang seperti ini, tetapi mengarahkannya kepada agar ia menjelaskan
La ilaha illa-llah, dan agar ia bersama sejumlah kecil pengikut yang
telah memperkenankan seruannya menanggung segala penderitaan ini.
Betapapun terlihat penuh kesukaran dan penderitaan, namun jalan
mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah merupakan jalan Nabishollallahu
’alaih wa sallamyang benar-benar menghasilkan manusia-manusia pilihan
sejak hari pertama. Merekalah para kader da’wah sejati yang tidak mudah
tergiur oleh berbagai kenikmatan dunia yang menipu, dan tidak mundur
walau dihadapkan kepada berbagai ancaman dan siksaan.
Maka
waspadai logika keliru yang menyuruh umat Islam untuk berfikir meraih
kekuasaan dan kepemimpinan terlebih dahulu selanjutnya barulah berda'wah
terang-terangan kepada aqidah La ilaha ill-Allah. Suatu logika yang
jelas-jelas Nabishollallahu ’alaih wa sallamtolak sejak hari pertama.
Sesungguhnya Allah bermaksud agar jangan sampai da’wah berkembang
menjadi suatu seruan yang menyingkirkan tiran dari kalangan
bangsa-bangsa tertentu untuk selanjutnya menghadirkan tiran baru dari
kalangan bangsa yang semula berda’wah atas nama agama Allah itu sendiri.
Padahal seruan Tauhid La ilaha ill-Allah justru mengandung makna pokok
yaitu mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama hamba (sesama
manusia) untuk menghamba hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Tauhid kepada Allah menjadikan Allah sebagai pusat tujuan, dan
mengambil panduan Qur'an dan Sunnah sebagai aturan sebagai bentuk
ibadah, disana tidak ada tujuan kepentingan manusia, semua pendapat,
kepentingan harus tunduk dibawah Kalimah Allah sebagai pusat tujuan. Dan
pada akhirnya ketundukan kepada Allah SWT menjadikan ruh utama dalam
menjalankan kehidupan. Tidak ada lagi penyelewengan, kemaksiatan,
perusakan sumber daya alam, karena kepentingannya bersandar kepada Allah
SWT dari Quran dan Sunnah.
Allah SWT berfirman artinya,“Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…” (QS Al
Maidah ayat 49)