PERINTAH kewajiban shaum atau berpuasa Ramadhan harus dilihat, dirasakan, dan diperlakukan dalam konsepsi Islam. Bukan dengan perspektif di luar itu. Sayangnya, mulai banyak kalangan—bahkan dari sebagian pemeluk Islam sendiri—yang tidak merasa cukup dengan konsepsi Islam. Mereka melibatkan sudut pandangan lain ketika berbicara puasa Ramadhan. Ramadhan dan toleransi, ketika dua kata ini disandingkan maka bisa saja melahirkan pemikiran dan pandangan yang malah menyudutkan ibadah wajib bagi umat Islam.
Perintah menghormati umat Islam yang tengah menjalankan puasa Ramadhan sering diselewengkan sebagai sebentuk teror atau setidaknya intimidasi pada toleransi. Seolah orang yang tidak menjalankan puasa tidak ditoleransi umat Islam. Sebuah penciptaan kesan berpikir yang sesat dan menyesatkan. Sejak kapan umat Islam mewajibkan umat lain berpuasa? Kapan pula bukti umat Islam meneror umat lain agar mengikuti kewajibannya? Lalu bagaimana dengan kalangan saudara seiman sendiri?
Setiap Muslim pastilah tahu bahwa kewajiban menjalankan puasa Ramadhan memiliki perkecualian. Orang sakit, perempuan hamil dan menyusui, orang yang tengah safar, ataupun orang yang dalam satu tugas yang berat, semua ini diperkenankan tidak berpuasa Ramadhan. Mereka menunda untuk kemudian diganti di hari setelah Ramadhan. Terhadap kalangan ini, perlakuan menghormati sudah secara otomatis mengingat agama kita juga menyebut jelas dalilnya. Maka, memampang deretan foto orang Islam sedang makan dan minum di sekitar Masjidil Haram saat Ramadhan, sama sekali tidak berdasar ilmu. Oknum pemampang entah tidak tahu ataukah pura-pura bahwa di sana jumlah musafir adalah mayoritas. Jadi, amat tidak memadai untuk mendukung motif di balik pikirannya untuk melegalkan bebas bukanya warung-warung makan di negeri kita.