ALANGKAH terkejutnya Saad bin Abi Waqash ketika dilihat sahabat karibnya, Umar bin Khattab berjalan begitu tergesa-gesa sambil menghunus pedang. Sejumput amarah nampak terbaca jelas di wajah satu dari dua orang yang sangat berpengaruh di Mekkah itu. Segera Saad bin Abi Waqash menghampiri Umar, “Hai Ibnul Khattab, akan pergi kemanakah engkau?”
Umar mendengus, “Mencari Muhammad. Orang celaka itu. Ia sudah berani mendirikan agama baru dan memutuskan persaudaraan kita, memecah belah persatuan bangsa kita, membodohkan orang-orang pandai kita, mencaci maki agama nenek moyang kta, menghina tuhan-tuhan kita, dan merendahkan kemuliaan kita. Jika aku bertemu dengannya, akan langsung kubunuh ia.”
Saad terperanjat mendengar jawaban Umar. Saad tahu bahwa Umar sangat membenci Rasulullah. Ia memusuhi Muhammad. Bukan sekali dua Umar menganiaya para pengikut Rasulullah.
Umar memang seorang pemuka Quraisy yang sangat berpengaruh di masyarakatnya. Ia adalah salah seorang yang gagah berani, cerdas, tangkas, dan kuat. Kegagahan, keberanian, dan pengaruh Umar seimbang dengan kegagahan dan dan keberanian Abu Jahal—atau juga dikenal sebagai Umar bin Hisyam. Dua orang ini sangat mewarnai Mekkah. Tidak ada lagi yang penduduk Mekkah takuti, hormati dan segani selain kedua orang itu.
Mendengar jawaban Umar itu, Saad menukas, “Oh Umar, engkau hendak membunuh Muhammad? Kau pikir, apakah setelah engkau berhasil membunuhnya, anak keturunan Abdul Muthalib akan membiarkan engkau hidup lebih lama lagi?”
Umar mendongak. Ia juga tidak kalah terkejut dengan apa yang dilontarkan Sada bin Abi Waqash sahabatnya itu. “Jadi kamu sudah mulai berani kepadaku ya? Engkau sudah mengikuti agama Muhammad. Engkau sudah berlainan agama denganku… Mungkin lebih baik kubunuh kau lebih dahulu…”
Saad tersentak. Segera ia menghunus pedangnya. “Hai Umar, mengapa kau tidak berbuat yang sama terhadap adik perempuanmu dan suaminya?’
“Apa maksudmu?” Umar mengernyitkan dahinya.
“Ha, Umar, mereka telah lama mengikuti agama ajaran Muhammad dengan patuh dan taat..”
Umar berang. Ia langung meninggalkan sahabatnya itu. Dengan kemarahan yang amat sangat, ia menggesa menuju rumah adiknya, Fatimah dan Zaid bin Tsabit, suami Fatimah. Digedornya pintu dengan keras sambil tangannya msih tetap memegang pedang terhunus. Fatimah dan Zaid yang tengah mengajarkan Alquran kepada budaknya tersentak. Zaid bertanya dari dalam rumah, “Siapa itu?”
“Aku, Ibnul Khattab!”
Fatimah segera menyembunyikan catatan-catatan ayat-ayat Alquran dan budaknya disuruh segera bersembunyi. Umar masuk dengan muka merah padam. “Betulkah kalian telah mengikuti agama Muhammad?”
Belum lagi Zaid bin Tsabit menjawab, Umar meloncat memegang janggut Zaid dan mencekik lehernya. Zaid dibanting dan dadanya diinjak-injak dengan sekehendak hati.
Fatimah berteriak. Berusaha sekuat tenagah menolong suaminya. Tetapi ketika ia mendekat, kepalanya dipukul dengan sangat keras oleh kakaknya dan mulutnya disikut. Fatimah mengeluarkan darah yang banyak. “Engkau hendak memukuli aku ataukah hendak membunuhku?”
Umar diam. Seperti ada sesal terbaca di raut mukanya. Ia telah menyakiti adik tersayangnya. Fatimah tetap berkata, lebih lantang, “Hai musuh Allah! Aku dan suamiku telah lama memeluk agama Allah. Mengapa engkau baru bertanya sekarang? Kalau engkau memang hendak membunuh kami, aku tidak takut sedikitpun. Aku tetap akan menjadi pengikut Muhammad.”
Umar makin terdiam. Umar termenung-menung dan tampak menyesal dan kelihatan sangat malu. Matanya melihat ke atas dan ke bawah, dan tiba-tiba ia melihat suatu tulisan di sehelai kertas yang tergantung di atas pintu. Diam-diam ia tertarik dan memperhatikannya. Umar adalah Quraisy yang bisa membaca dan menulis. Amat langka ketika itu orang Arab mempunyai keterampilan dan kemampuan seperti Umar. “Tulisan apakah itu, Fatimah? Ambilkan itu untukku, aku ingin mengetahuinya…”
Fatimah menjawab dengan tegas, “Tidak, aku tidak sudi mengambilnya. Engkau pasti akan merobeknya…”
Berulang-ulang Umar meminta supaya diambilkan tulisan itu, tetapi Fatimah tidak bersedia mengambilkannya. Akhirnya Umar bersumpah bahwa ia tidak akan merobek-robek tulisan itu dan mengembalikannya. Fatimah tahu, kakaknya walau bukan seorang muslim adalah orang yang sangat menjaga ucapannya. Ia segera mengambil dan memberikan tulisan itu kepada Umar.
Ketika melihat apa yang tertera di tulisan itu, Umar bergetar. “Bismillah”, begitu tulisan pertama yang ia baca. Umar semakin berguncang manakala mendapati tulisan-tulisan selanjutnya yang merupakan penggalan dari Surat Thaahaa. Tiba-tiba ia berteriak dengan sangat keras. Yang membuat kaget Fatimah dan Zaid, teriakan Umar adalah ucapan syahadat.
“Fatimah…” Umar terbata-bata, “Antarkan aku kepada Muhammad. Aku ingin menjadi pengikutnya. Aku akan masuk Islam.”
Fatimah tergetar. Ia tertunduk. Sebait syukur ia lafadzkan. Akhirnya kakaknya yang sangat disegani oleh masyarakat Mekkah mendapat sejumput hidayah dan akan bersama-sama menjalani dakwah mereka yang sangat panjang. Diantar oleh budak Fatimah, Umar menghadap Rasulullah.
Rasulullah menyambut suka cita atas masuk Islamnya Umar bin Khattab. Ia bersyukur doanya dikabulkan oleh Allah. Bahwa permintaannya agar salah satu dari dua Umar—Ibnul Khattab atau bin Hisyam (Abu Jahal)—masuk Islam. Rasulullah sangat menyadari ketokohan kedua Umar itu sangat vital dalam dakwah ini. Jika tidak bisa keduanya, salah satunya pun cukup sudah. Mekkah tiba-tiba semakin diselubungi cahaya putih. Ada banyak hal yang menanti yang memerlukan seorang Umar bin Khattab yang dulunya bertemperamen, berangasan namun sangat dihormati itu. Umar siap menjelma menjadi pengikut Rasulullah sejati.
Islampos