Setelah menunggu selama delapan
abad, Sultan Muhammad bin Murad, yang memerintah Turki dari 1451 sampai 1481,
akhirnya dapat menaklukkan kota Konstantinopel, ibu kota imperium Byzantium,
alias Yunani Timur. Penaklukan itu terjadi pada tahun 1455, tiga tahun setelah
Sultan Muhammad menggantikan ayahnya.
Kota ini memang telah lama
diagendakan oleh para petinggi dinasti Utsmani untuk direbut namun selalu
gagal.
Sukses yang diraih oleh Sultan
Muhammad, yang relatif masih muda, benar-benar merupakan kejayaan bagi dinasti
Turki Utsmani khususnya dan Islam pada umumnya. Maka pantas jika ia diberi
gelar Al-Fatih, “Sang Penakluk”.
Ketika naik takhta pada tahun 1451,
umur Muhammad bin Murad belum genap 22 tahun. Namun ia telah terobsesi untuk
menaklukkan Konstantinopel. Semangat juang, dedikasi, dan pengabdiannya tak
tertandingi. Setelah memegang pucuk pimpinan pemerintahan, ia juga menunjukkan
jiwa kepemimpinan yang luar biasa, sehingga menjadikan Turki sebagai negeri
yang sangat disegani oleh kawan maupun lawan.
Mengenai penaklukan itu, seorang
guru besar Sejarah Kebudayaan dan Peradaban Universitas Islam As Saud, Riyadh,
Arab Saudi, Dr. Sayid Ridwan Ali, menuliskan dalam buku berjudul Sultan
Muhammad Fatih Bathal al-Fathu al Islami.
Pada 29 Mei 1453, Muhammad bin Murad
melancarkan serbuan akhir, menjebol benteng musuh lewat pintu gerbang Rabul
Madfa atau San Roman dan pintu Adrena.
Pihak musuh, yang dipimpin
oleh Justunianus, menyerang pasukan Turki yang mulai naik pagar benteng
dengan menggunakan tangga.
Pasukan muslim ini berjumlah 30
orang, di bawah pimpinan Hasan Thobal, dan 17 di antaranya tewas.
Semangat tempur Hasan Thobal itu
lantas menggugah semangat juang teman-temannya di belakang sehingga tentara
Turki secara bergelombang dapat memasuki benteng dan terjadilah pertempuran
hebat sebelum akhirnya benteng itu bisa direbut. Maka jatuhlah Konstantinopel
ke tangan Turki.
Para sejarawan mengisahkan, ketika
memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad sengaja memilih berjalan kaki. Ia
bersujud kepada Allah atas karunia-Nya itu.
Karena sudah tidak ada jema’atnya
lagi, hari itu juga Gereja Aya Sofia berubah menjadi masjid jami’, dan bergemalah
AllahuAkbar ketika mereka melaksanakan shalat Jum’at untuk pertama
kalinya. Meski demikian, Muhammad bin Murad, sebagai panglima Turki, melarang
anak buahnya merampas harta benda penduduk.
Justinianus sendiri dengan luka-luka
yang dideritanya melarikan diri ke pelabuhan dan menyeberang ke Pulau Launus,
diikuti oleh anak buahnya.
Setelah itu, panji-panji Turki
Utsmani berkibar di seantero Konstantinopel, seiring dengan berjalannya
pertempuran di seluruh penjuru kota itu.
Dengan kemenangan itu, wilayah Turki
bisa disatukan antara utara dan selatan, antara Asia dan Eropa. Dan kota
Konstantinopel dijadikan ibu kota, dengan nama “Dar al-Sa’adah”. Dan sejak itu,
pemerintahan Utsmani dapat mengembangkan gerakannya lebih leluasa hingga ke
pantai Laut Hitam, di utara ke Rusia, Hongaria, Yunani, Albania, pantai timur
Laut Adriatik, dan bagian timur Laut Tengah. Kelak, pada masa pemerintahan
Mustafa Kemal At-Taruk, kota itu diganti namanya menjadi Istambul, dan menjadi
pangkalan militer untuk wilayah timur negeri Turki.
Muhammad Al-Qanuni
Para sejarawan Mesir menggambarkan
Muhammad bin Murad sebagai raja yang agung dan berhasil menguasai dinasti
Utsmaniyah seluruhnya. Banyak prestasi yang ditorehnya selama memerintah 30
tahun itu. Selain memiliki ilmu pengetahuan yang luas, ia juga dikenal sangat
adil.
Itu semua tak lain adalah hasil
didikan ayahandanya, Murad bin Muhammad, yang mendidiknya dengan ilmu
kemiliteran dan politik sejak kecil. Juga para gurunya, yang terdiri dari para
ulama besar, sarjana ilmu agama, sastra, olahraga, dan ilmu falak.
Seperti Ibnu Tamjid, Maulana Syamsuddin Al-Karoumi, Maula Zaerok,
Kwajah Zadah, Sinan Pasya.
Ia sangat mencintai ilmu
pengetahuan, gemar bersahabat dengan para ilmuwan, ulama, dan adibba
(budayawan), di dalam dan luar negeri. Ia membangun lembaga tinggi ilmu
pengetahuan di Konstantinopel yang terkenal dengan nama “Madaris as Sahn Ats
Tsamani”.
Ia menguasai berbagai bahasa asing,
seperti Yunani, Latin, Persia, Arab. Ia memerintahkan agar beberapa buku yang
ditemukan di perpustakaan Byzantium, seperti naskah asli geografi karya
Ptolomeus, buku biografi orang-orang Romawi terkenal karya Plutarch,
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Turki.
Ia membangun Universitas Akro Poolo
di Athena setelah Yunani ditaklukkannya.
Demikian gandrungnya kepada syair,
Muhammad bin Murad juga mengoleksi syair dari Turki dan Persia dan membentuk
dewan penerbit yang membawahkan 30 penyair yang ternama. Ia memang dikenal
sebagai pemuja keindahan seni dan begitu besar memberikan dorongan kepada para
seniman dalam dan luar negeri.
Kepada penyair sufi populer dari
Iran dan India, Abdurrahman Jami dan Khowajah Jahan, dan kepada ulama nahwu
asal Mesir, Syaikh Muhyidin Al-Kafiji, ia pernah mengirim hadiah yang sangat
berharga sebagai simpatinya. Ia juga mengagumi penulis Italia Gentile Bellini
dan artis Bartholomeo dari Venesia.
Ia bahkan mengizinkan Christobolus,
seorang ahli sejarah Yunani, menulis biografinya secara obyektif. Kebaikan,
kelebihan, termasuk keburukan serta kekurangan yang ada pada dirinya.
Perhatiannya terhadap hasil kesenian
begitu begitu besar. Ketika meresmikan perubahan gereja Aya Sofia menjadi
masjid jami’, ia tidak menghapus atau merusak gambar atau lukisan yang tertera
di dalamnya, namun hanya menutupnya, agar bisa dibuka kembali. Setelah itu
didirikanlah menara yang menjulang tinggi serta mihrab di dalamnya dengan
fondasi yang kuat.
Di awal pemerintahannya, Muhammad
bin Murad membenahi sistem administrasi negara, tata kota, dan
perundang-undangan, sehingga ia mendapat gelar kehormatan Muhammad Al-Qanuni.
Ia juga dikenal sebagai peletak dasar kebudayaan Turki Utsmani yang Islami.
Gelar kehormatan juga mengalir
kepadanya dari Eropa. Mereka menggelarinya sebagai Grand Seigneur atau
Asy-Syaraful A’dzam, “Tuan Besar yang Agung”.
Di balik semua itu, ia adalah
seorang penguasa yang sangat tegas. Sejumlah menteri, karena melakukan
kesalahan yang begitu fatal, ia hukum mati. Khalil Pasha, misalnya, dihukum
mati karena kedapatan sebagai mata-mata musuh.
Sultan Muhammad Al-Fatih wafat
pada tanggal 4 Rabi’ul Awwal 886 H atau 3 Mei 1481 dan dimakamkan di
Makbarah di dalam kompleks masjid yang dibangunnya, Masjid Al-Jami’ Al-Fatih.