Suatu hari ‘Umar bin Khaththab r.a.
menemui Rasulullah SAW di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau
tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah lapuk.
Jejak tikar itu membekas di belikat beliau, sebuah bantal yang keras
membekas di bawah kepala beliau, dan jalur kulit samakan membekas di
kepala beliau. Di salah satu sudut kamar itu terdapat gandum sekitar
satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam tumbuhan untuk
menyamak kulit).
“Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak
menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat Anda, sedangkan aku
tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan Kaisar duduk di atas
tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan dikelilingi
buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan manusia
pilihan Allah!”
Lalu Rasulullah SAW menjawab dengan
senyum tersungging di bibir beliau, “Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan
mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara
kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah
engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?”
‘Umar menjawab, “Aku rela.” (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad) Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang lebih lembut dari tikar ini.”
Lalu, Rasulullah SAW menjawab dengan khusyuk dan merendah diri, “Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Betapa Rasulullah SAW sangat sederhana. Ia menyadari bahwa akhirat jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya.
“Barang siapa menjadikan
akhirat sebagai tujuannya maka Allah SWT akan membuat baik semua
urusannya, dan menjadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang
dengan mudah. Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka
Allah akan mencerai beraikan urusannya, menjadikan kefakiran ada di
depan matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya, kecuali sebatas
yang telah ditentukan.”
Rasulullah SAW bersabda : “Menjauhi kesenangan dunia lebih
pahit rasanya daripada pahitnya brotowali dan lebih menyakitkan daripada
sabetan pedang di medan perang. Tiada seorangpun yang menjauhinya,
melainkan akan dianugerahi Allah SWT pahala yang sama seperti yang
diberikan Nya kepada para syuhada. Cara menjauhi kesenangan duniawi
adalah dengan sedikit makan dan tidak terlalu kenyang serta tidak suka
dipuji orang lain. Barang siapa yang suka dipuji orang, berarti dia
menyukai dunia dan kesenangannya. Oleh karena itu, barang siapa yang
ingin meraih kesenangan yang hakiki hendaklah menjauhi keduniawian dan
pujian orang lain”(HR. Dailami)
Wallahu ‘alam
Sarkub