Syekh Abdul Qadir al-Jaylani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Peringatan Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan setiap tahun oleh umat Islam Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya.
Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, cerita-cerita (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban.
Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.
Ia dilahirkan pada tahun 371 H., sebagaimana yang tertera pada hampir semua buku biografi tentang dirinya. Bila dirunut ke atas dari nasabnya, beliau masih keturunan dari Ali bin Abi Talib.
Ia tumbuh sebagai anak yatim. Ia menghabiskan fase pertama dalam hidupnya bersama ibunya. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M.
Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali, ia belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Ia menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepadanya. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertobat setelah mendengar nasehatnya. Banyak pula orang yang datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi. Sekolah itu lalu diperluas dan direnovasi total seperti baru. Sekolah itu pun lalu populer dengan nama Sekolah Syekh Abdul Qadir al-Kaylani. Sampai sekarang sekolah ini masih berdiri tegak di Bagdad. Sekarang lebih dikenal dengan nama Sekolah al-Qadiriah.
Dalam Dzayl Thabaqat al-Hanabilah, Ibn Rajab menuturkan, “Ia menguasai tiga belas bidang ilmu. Banyak orang yang belajar pada Syekh tentang Tafsir, Hadis, dan persoalan mazhab. Setiap mengeluarkan fatwa, ia menggunakan kaidah Fikih Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Ia juga menguasai Ilmu Perbandingan, Ushul Fikih, Nahwu (gramatika Arab). Selepas zuhur, ia selalu mengkaji Ilmu Qira’at.”
Banyak ulama besar yang ikut menghadiri pengajiannya.
Banyak ulama besar yang ikut menghadiri pengajiannya.
Pengaruh dan Karya
Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausiah. Hal ini membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan, bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan, sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh.
Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai tulisannya. Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:
1. Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa, keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal, dan akhlak yang baik.
2. Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada forum pengajian itu.
3. Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.
1. Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa, keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal, dan akhlak yang baik.
2. Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada forum pengajian itu.
3. Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.
Kesaksian Ulama
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, "Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali."
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
"Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma'ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani."
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, "Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir Jailani?"
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, "Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad." Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul Mu'awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, "Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad." Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul Mu'awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.
Ibnu Rajab juga berkata, "Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. " Al-Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."
Wafat
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah.
Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
“Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.” diambil dari berbagai sumber.
“Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.” diambil dari berbagai sumber.