"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Minggu, 26 Oktober 2014
Rahasia Khalifah Umar Ke Surga
RAJA’ bin Hayat—seorang menteri Umar bin Abdul Aziz yang ikhlas) menuturkan sebuah kisah. “Saya pernah bersama Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menjadi penguasa Madinah.
Beliau mengutus saya untuk membelikan pakaian untuknya. Lantas saya membelikan pakaian untuknya seharga lima ratus dirham. Ketika beliau melihatnya, lantas beliau berkomentar, ‘Ini bagus, tapi sayang harganya murah.’
“Dan ketika beliau telah menjadi khalifah, beliau pernah mengutusku untuk membelikan pakaian untuknya. Lalu saya membelikan pakaian untuknya seharga lima dirham. Ketika beliau melihat pakaian tersebut, beliau berkomentar. ‘Ini bagus, hanya saja mahal harganya.”
“Tatkala saya mendengar perkataan tersebut kontan saya pun menangis. Lantas Umar bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis, hai Raja’?’ Saya menjawab, ‘Saya teringat pakaianmu beberapa tahun yang lalu dan komentarmu mengenai pakaian tersebut.’
“Kemudian Khalifah mengungkap rahasia hal tersebut kepada saya. Beliau berkata, ‘Wahai Raja’! Sungguh, saya mempunyai jiwa ambisius. Jika saya telah berhasil merealisasikan sesuatu pastilah saya ingin sesuatu yang di atasnya lagi. Saya mempunyai hasrat untuk menikahi putri pamanku, Fatimah binti Abdul Malik. Saya pun berhasil menikahinya. Kemudian saya ingin memegang kepemimpinan. Saya pun berhasil memegang kekuasaan. Kemudian saya ingin memegang khilafah.
Saya pun berhasil menjadi khalifah. Dan sekarang wahai Raja’’, saya ingin mendapat surga, maka aku berharap termasuk ahli surga.”
Umar bin Abdul Aziz mendengar kabar bahwa salah seorang putranya membuat cincin dan memasang batu mata cincin seharga seribu dirham. Lantas beliau menulis surat kepada putranya tersebut, “Saya dengar bahwa engkau membeli batu cincin untuk cincinmu seharga seribu dirham. Oleh karena itu, juallah lalu uangnya gunakan untuk membuat kenyang seribu orang yang kelaparan. Buatlah cincin dari besi serta tuliskan di atasnya, “Semoga Allah merahmati orang yang menyadari posisi dirinya sendiri.”
Islampos
Permulaan Dan Akhir Perang Salib
SAMPAI abad ke-11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur). Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.
Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.
Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim-yang menguasai Palestina saat itu-menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.
Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta.
Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan-terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil-untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)
Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.
Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).
Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni 1098.
Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.
Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187, Shalahuddin Al Ayyubi dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193).
Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.
Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks–bukan bagian dari Tentara Salib-tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.
Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”.
Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama.
Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.
Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.
***
Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).
Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.
Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.
Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya.
Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.
Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.
Islampos
Sabtu, 25 Oktober 2014
Keutamaan Waktu Subuh
Dalam Alquran Allah SWT sering bersumpah dengan waktu, dari waktu fajar (subuh), dhuha, siang hari, sore, dan senja (ashar), hingga malam hari. Menurut para pakar tafsir, setiap benda atau sesuatu yang dijadikan objek sumpah oleh Allah terkandung di dalamnya dua makna.
Pertama, menunjukkan sesuatu itu penting atau terkandung kebaikan di dalamnya. Kedua, ia menjadi tanda atau penunjuk jalan bagi kekuasaan dan kebesaran Allah SWT yang mesti dipahami.
Dalam surah at-Takwir, Allah bersumpah dengan waktu subuh. “Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.” (QS at-Takwir [81]: 18). Sumpah ini menarik. Dalam Alquran tidak ada benda tidak bernyawa dinyatakan “bernapas” (hidup), kecuali waktu subuh. Apa maknanya?
Mutawalli Sya’rawi memahami ayat ini sebagai tasybih, yakni analogi kedatangan agama Islam dengan waktu subuh. Subuh merupakan permulaan hari ketika cahaya [fajar] mulai bersinar. Subuh juga menyemburkan udara segar yang sangat berguna bagi kesehatan manusia.
Seperti waktu subuh, kedatangan agama Islam memulai kehidupan baru, menyibak kegelapan kelam jahiliyah. Dengan Islam, kehidupan bisa dimulai kembali dan manusia bisa bernapas lega dengan bimbingan dan petunjuk Alquran.
Karena bercahaya dan mengeluarkan udara segar, waktu subuh dipandang sebagai makhluk hidup, bernapas (bernyawa). Kalau pada malam hari pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan mengeluarkan racun (karbon dioksida), saat subuh (pagi hari), pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan mengeluarkan oksigen alias udara pagi yang bersih dan sejuk.
Napas waktu subuh itu berkah bagi manusia. Nabi Muhammad SAW pernah berdoa, “Allahumma barik li-ummati fi bukuriha” (Ya, Allah berikan keberkahan bagi umatku pada permulaan harinya.) (HR Abu Daud dan Thirmidzi).
Keberkahan waktu subuh itu berdimensi fisik dan nonfisik (spiritual). Dari sisi spiritual, dua rakaat shalat (sunah) fajar disebut oleh Nabi SAW, “lebih baik dari dunia dan segala isinya.” (HR Muslim).
Orang-orang terbaik dari generasi sahabat dan tabi’in (al-salaf al-shalih) tidak pernah tidur lagi setelah melakukan shalat Subuh. Mereka berzikir dan membaca wirid-wirid hingga matahari terbit. Tak lama setelah itu, mereka melaksanakan shalat Dhuha, kemudian mereka memulai kerja dan aktivitas.
Dari sisi fisik (duniawi), keberkahan (napas) waktu subuh itu dikaitkan dengan kesehatan, kemajuan ekonomi, dan kesuksesan dalam hidup. Rasulullah SAW pernah mengingatkan Fatimah al-Zahra, putrinya, agar tidak tidur lagi setelah shalat Subuh. (HR Baihaqi).
Pada kesempatan lain, Rasul juga mengingatkannya agar bangun pagi dan giat mencari rezeki. Sebagaimana sabdanya, “Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu. Sesungguhnya, pada pagi hari terdapat berkah dan keberuntungan.” (HR Thabrani dan Al-Bazzar).
Dalam banyak penelitian diketahui, orang yang rajin bangun pagi, beribadah, dan berolahraga, ia lebih sehat (bugar), lebih produktif, dan memiliki peluang lebih besar meraih kesuksesan.
Bagi orang-orang yang tinggal di perkotaan, keberkahan waktu subuh itu sangat nyata. Tidak bangun pagi, berarti petaka. Telat pergi ke kantor, stres di jalan karena macet, dan banyak energi terbuang percuma. Wallahu a’lam.
Republika
Kamis, 23 Oktober 2014
Hikmah Dibalik Karunia Sakit
Rasulullah bersabda : “Apabila seorang hamba mukmin sakit, maka Allah mengutus 4 malaikat untuk datang padanya.”
Allah
memerintahkan :
1. Malaikat pertama untuk mengambil kekuatannya sehingga menjadi lemah.
2. Malaikat kedua untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya.
3. Malaikat ketiga untuk mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubahlah wajah si sakit menjadi pucat pasi.
4. Malaikat keempat untuk mengambil semua dosanya , maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa.
1. Malaikat pertama untuk mengambil kekuatannya sehingga menjadi lemah.
2. Malaikat kedua untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya.
3. Malaikat ketiga untuk mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubahlah wajah si sakit menjadi pucat pasi.
4. Malaikat keempat untuk mengambil semua dosanya , maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa.
Tatkala
Allah akan menyembuhkan hamba mukmin itu, Allah memerintahkan kepada malaikat
1, 2 dan 3 untuk mengembalikan kekuatannya, rasa lezat, dan cahaya di wajah
sang hamba.Namun untuk malaikat ke 4, Allah tidak memerintahkan untuk
mengembalikan dosa-dosanya kepada hamba mukmin.
Maka
bersujudlah para malaikat itu kepada Allah seraya berkata : “Ya Allah mengapa
dosa-dosa ini tidak Engkau kembalikan?”
Allah menjawab: “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya ketika sakit. Pergilah dan buanglah dosa-dosa tersebut ke dalam laut.”
Allah menjawab: “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya ketika sakit. Pergilah dan buanglah dosa-dosa tersebut ke dalam laut.”
Dengan ini,
maka kelak si sakit itu berangkat ke alam akhirat dan keluar dari dunia dalam
keadaan suci dari dosa sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sakit panas dalam
sehari semalam, dapat menghilangkan dosa selama setahun.”
“Tiada seorang mu’min yang ditimpa oleh lelah atau penyakit, atau risau fikiran atau sedih hati, sampaipun jika terkena duri, melainkan semua penderitaan itu akan dijadikan penebus dosanya oleh Allah” (HR Bukhari-Muslim).
“Tiada seorang mu’min yang ditimpa oleh lelah atau penyakit, atau risau fikiran atau sedih hati, sampaipun jika terkena duri, melainkan semua penderitaan itu akan dijadikan penebus dosanya oleh Allah” (HR Bukhari-Muslim).
Sakit, sebagaimana juga setiap ujian, bukan menguji
ketangguhan dan kemampuan. Sebab sakit Allah beri sudah sesuai dengan takaran dan
daya tahannya.
Ia sejatinya
menguji kemauan untuk memberi makna. Maka bagi dia yang mampu memberi makna
terbaik bagi sakit, insya Allah kemuliaannya diangkat dan membuat malaikat yang
selalu sehat takjub.
Sakit adalah
jalan kenabian Ayub yang menyejarah. Kesabarannya yang lebih dari batas
(disebut dalam sebuah hadits 18 tahun menderita penyakit aneh) diabadikan jadi
teladan semesta. Dan atas kenyataan sejarah tersebut, hari ini cobalah
bercermin kepadanya.
Hari ini
pula kita bisa bercermin kepada sosok-sosok mulia yang pernah juga sakit.
Sakit, yang di ujung penggal kehidupan mereka yang ditemukan adalah kemuliaan
serta terus bertambah derajat kemuliaanya di mata Allah SWT.
Imam
As-Syafi’i wasir sebab banyak duduk menelaah ilmu; Imam Malik lumpuh tangannya
dizhalimi penguasa; Nabi tercinta kita pun pernah sakit oleh racun paha kambing
di Khaibar yang menyelusup melalui celah gigi yang patah di perang Uhud.
Bukankah setelah akhirnya sakit, semuanya semakin mulia di mata Allah bahkan
juga di mata sejarah manusia.
Sakit itu
zikrullah. Mereka yang menderitanya akan lebih sering dan syahdu menyebut Asma
Allah dibanding ketika dalam sehatnya.
Sakit itu
istighfar. Dosa-dosa akan mudah teringat, jika datang sakit. Sehingga lisan
terbimbing untuk mohon ampun. Sakit itu tauhid. Bukankah saat sedang hebat rasa
sakit, kalimat thoyyibat yang akan terus digetar?
Sakit itu
muhasabah. Dia yang sakit akan punya lebih banyak waktu untuk merenungi diri
dalam sepi, menghitung-hitung bekal kembali. Sakit itu jihad. Dia yang sakit
tak boleh menyerah kalah; diwajibkan terus berikhtiar, berjuang demi
kesembuhannya.
Bahkan sakit
itu ilmu. Bukankah ketika sakit, dia akan memeriksa, berkonsultasi dan pada
akhirnya merawat diri untuk berikutnya ada ilmu untuk tidak mudah kena sakit.
Sakit itu
nasihat. Yang sakit mengingatkan si sehat untuk jaga diri. Yang sehat hibur si
sakit agar mau bersabar. Allah cinta dan sayang keduanya.
Sakit itu
silaturrahim. Saat jenguk, bukankah keluarga yang jarang datang akhirnya datang
membesuk, penuh senyum dan rindu mesra? Karena itu pula sakit adalah perekat
ukhuwah.
Sakit itu
gugur dosa. Barang haram tercelup di tubuh dilarutkan di dunia, anggota badan
yang sakit dinyerikan dan dicuci-Nya. Sakit itu mustajab doa. Imam As-Suyuthi
keliling kota mencari orang sakit lalu minta didoaka oleh mereka.
Sakit itu
salah satu keadaan yang menyulitkan syaitan; diajak maksiat tak mampu-tak mau;
dosa lalu malah disesali kemudian diampuni.
Sakit itu
membuat sedikit tertawa dan banyak menangis; satu sikap keinsyafan yang disukai
Nabi dan para makhluk langit.
Sakit
meningkatkan kualitas ibadah; rukuk-sujud lebh khusyuk, tasbih-istighfar lebih
sering, tahiyyat-doa jadi lebih lama.
Sakit itu
memperbaiki akhlak; kesombongan terkikis, sifat tamak dipaksa tunduk, pribadi
dibiasakan santun, lembut dan tawadhu.
Dan pada
akhirnya sakit membawa kita untuk selalu ingat mati. Mengingat mati dan bersiap
amal untuk menyambutnya, adalah pendongkrak derajat ketaqwaan. Karena itu
mulailah belajar untuk tetap tersenyum dengan sakit. Wallahu A’lam.
Sumber : Ustadz Arifin Ilham
Ambisi Utama Nabi Muhammad SAW
Tahukah Anda apa yang menjadi ambisi utama Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam selama hidupnya di dunia? Beliau tidak berambisi untuk menjadi orang kaya, ataupun menjadi penguasa atau raja apalagi menjadi selebritis atau artis. Samasekali tidak! Yang menjadi ambisi dan fokus perhatian beliau adalah bagaimana manusia di dunia menjadi orang beriman sehingga selamat di dunia dan di akhirat.
Bilamana Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam berinteraksi dengan para sahabatnya yang telah masuk Islam menjadi orang beriman, maka sedapat mungkin beliau akan mengingatkan mereka agar mensyukuri nikmat iman-Islamnya sehingga keimanan mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala kian meningkat. Dan bila beliau berinteraksi dengan orang bukan muslim, maka sedapat mungkin dengan penuh cinta beliau ajak orang itu memeluk agama Allah subhaanahu wa ta’aala agar selamat di dunia dan di akhirat. Beliau tidak pernah melewatkan kesempatan untuk berda’wah. Sebab beliau merupakan rahmat bagi semesta alam.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah kami mengutus
engkau (Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam) melainkan agar menjadi rahmat bagi semesta alam. ” (QS Al-Anbiyaa 107).
Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tidak pernah berfikir agar dirinya sendiri yang merasakan manisnya iman-Islam. Beliau sangat ingin berbagi kenikmatan rahmat Allah subhaanahu wa ta’aala bersama orang lain. Beliau tidak pernah berpretensi bahwa dirinya semata yang berhak masuk surga. Tetapi beliau ajak sebanyak mungkin manusia agar bersama dirinya menikmati jannah.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ
حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mu’min.” (QS At-Taubah 128).
Sungguh, kita masih sangat jauh dari meneladani sikap beliau. Kita masih terlalu piawai dalam memberikan aneka alasan untukmengabaikan perintah Allah subhaanahu wa ta’aala, yakni berda’wah mengajak manusia ke jalan lurus Al-Islam. Kita masih membiarkan diri menjadi orang egois yang ingin masuk surga sendirian dan tidak peduli dengan orang lain. Apalagi jika orang lain itu adalah orang nonmuslim. Kadang kita beranggapan ”biarlah orang kafir masuk neraka.” Na’udzubillahi min dzaalika. Dengan dalih toleransi kita biarkan teman kerja, tetangga bahkan saudara kita sendiri, yang kebetulan non-muslim, tetap hidup dalam kesesatan di luar agama Allah subhaanahu wa ta’aala.
Penulis teringat sepuluh tahun yang lalu berkenalan dengan seorang muslim bule berkebangsaan Australia tinggal di Jakarta. Pada saat itu ia menyampaikan pengalaman pribadinya. Ia berkata: “Sebelum masuk Islam, saya sudah punya banyak kenalan orang Indonesia… tapi sayang, pak Ihsan, tidak ada seorangpun kawan saya saat itu yang pernah mengajak saya masuk Islam. Saya masuk Islam, Alhamdulillah, karena saya gemar membaca… hingga saya berjumpa dengan Al-Qur’an terjemahan bahasa Inggris…lalu memperoleh hidayah dari Allah subhaanahu wa ta’aala.”
Saat itu penulis samasekali tidak memiliki pretensi apapun atas ungkapan si kawan muslim Australia itu. Namun setelah mengikuti perjalanan da’wah dan mengamati kondisi ummat Islam di negeri tercinta, akhirnya kami sampai pada suatu kesimpulan bahwa apa yang dialami kawan bule itu bukan merupakan sebuah kasus khusus. Tampaknya itulah gambaran pada umumnya kondisi kita ummat Islam di Indonesia dalam mensikapi orang di luar Islam. Kita tidak pernah terfikir untuk mengajak mereka beriman bersama kita.
Selama ini kita beranggapan bahwa yang namanya kegiatan da’wah adalah sebatas kegiatan tausyiah antar sesama muslim. Itulah sebabnya bila kata ”da’wah” terdengar, maka yang segera terbayang adalah kegiatan Khutbah Jum’at atau Tabligh Akbar atau Majelis Ta’lim di masjid. Padahal semua kegiatan tersebut adalah kegiatan penyampaian tausyiah dari seorang muslim kepada pendengar sesama muslim. Lalu bagaimana nasib orang-orang di luar Islam? Apakah mereka tidak berhak menerima nasihat dan ajakan ke jalan Allah subhaanahu wa ta’aala? Di mana bukti pengakuan kita bahwa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan teladan kita? Kalau Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam memiliki ambisi utama ingin melihat manusia beriman agar menjadi selamat di dunia dan di akhirat, lalu apa sesungguhnya ambisi utama kita?
Padahal ayat yang memerintahkan kita berda’wah bersifat umum. Ia tidak membatasi kita agar hanya mengajak sesama muslim. Tetapi ia bersifat terbuka. Artinya, hendaknya siapapun di muka bumi yang kita berinteraksi dengannya, maka hendaklah ia diajak kepada jalan al-haq (kebenaran) ini. Siapapun berhak merasakan manisnya iman-Islam sebagaimana kita selama ini merasakannya.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
”Serulah (manusia) kepada jalan
Rabb-mu dengan hikmah/arif-bijaksana/wisdom dan pelajaran yang baik dan
bantahlah/beradu pendapatlah (dengan) mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS AnNahl ayat 125).
Setelah kita ajak ke jalan Allah subhaanahu wa ta’aala, maka sisanya kita serahkan kepada Allah. ”Sesungguhnya Rabbmu (Allah) lebih mengetahui tentang siapa yang (bakal tetap) tersesat dari jalan-Nya (setelah diajak) dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang (pantas) mendapat petunjuk.”
Eramuslim
Dzikir Sesudah Shalat Wajib
Ada sebagian muslim bilamana selesai mengerjakan sholat lima waktu langsung meninggalkan tempat sholatnya lalu berdiri untuk segera kembali meneruskan kesibukan duniawinya. Mereka tidak menyempatkan diri untuk berhenti sejenak membaca wirid ataupun bacaan-bacaan yang sesungguhnya dianjurkan dan dicontohkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.
Padahal terdapat banyak variasi wirid yang dicontohkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam selepas beliau mengerjakan sholat lima waktu. Di antaranya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ
الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا
أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ
الْجَدُّ
Apabila Nabi Muhammad shollallahu
’alaih wa sallam selesai dan salam dari sholat beliau mengucapkan: ”Tiada tuhan
yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya.
BagiNya segala puji dan bagiNya kerajaan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ya Allah, tidak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada
yang dapat memberi apa yang Engkau cegah. Kekayaan seseorang tidak berguna dari
ancamanMu.” (HR Bukhary 3/348).
Setidaknya dari wirid di atas ada tiga poin penting yang mengandung pengokohan kembali iman seseorang. Pertama, ia mengokohkan pengesaannya akan Allah subhaanahu wa ta’aala. Ia memperbaharui tauhid-nya, keimanannya bahwa hanya ada satu ilah di jagat raya ini dan bahwa ilah tersebut tidak memiliki sekutu apapun bersamaNya.
Kedua, ia mengokohkan keyakinannya bahwa sesungguhnya rezeqi seseorang sepenuhnya telah ditakar dan ditentukan terlebih dahulu oleh Allah subhaanahu wa ta’aala. Sehingga pembaharuan keyakinan ini akan membuat dirinya tetap rajin namun tidak ngoyo dalam mengejar rezeqi di dunia.
Ketiga, ia bahkan membebaskan dirinya dari faham materialisme. Suatu faham yang menganggap bahwa banyak-sedikitnya materi menentukan mulia-hinanya seseorang. Padahal sekaya apapun seseorang, maka sesungguhnya kekayaannya itu tidak dapat membebaskan dirinya dari ancaman serta siksaan Allah subhaanahu wa ta’aala bilamana ia tidak memenuhi hak Allah untuk disembah dan diesakan. Allah subhaanahu wa ta’aala bukanlah seperti kebanyakan fihak di dunia fana ini yang dengan mudah bisa disuap.
Ada lagi jenis wirid yang biasa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam kerjakan sebagai berikut:
عَنْ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ
بِيَدِهِ يَوْمًا ثُمَّ قَالَ يَا مُعَاذُ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ لَهُ
مُعَاذٌ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَنَا أُحِبُّكَ قَالَ
أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ أَنْ تَقُولَ
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى
ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Dari sahabat Mu’adz radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah menggandeng tangnnya dan bersabda: “Demi Allah, hai
Mu’adz, sesungguhnya aku mencintaimu.” Lalu beliau bersabda: “Aku berwasiat
kepadamu hai Mu’adz, jangan kau tinggalkan setiap selesai sholat ucapan: “Ya
Allah, berilah pertolongan kepadaku untuk berdzikir menyebut namaMu, syukur kepadaMu dan ‘ibadah yang baik untukMu.”(HR Ahmad 45/96).
Orang yang rajin membaca wirid di atas selepas sholat lima waktu tentu akan menjadi seorang mu’min yang senantiasa rendah hati dan hanya bergantung kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Sebab betapapun banyaknya aktivitas dzikir, bersyukur dan ber-ibadahnya namun dengan penuh kesadaran ia terus memohon hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala untuk menjadikan dirinya selalu sanggup mengerjakan ketiga perkara mulia tersebut.
Bahkan ada jenis wirid yang menurut Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bila dikerjakan seorang muslim selepas sholat lima waktu akan menyebabkan dirinya terjamin memperoleh ampunan Allah subhaanahu wa ta’aala atas segenap dosanya betapapun banyaknya dosa yang ia miliki:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ
ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ
وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ (مسلم)
“Barangsiapa bertasbih kepada Allah
tigapuluh tiga kali setiap selesai sholat lalu bertahmid
kepada Allah tigapuluh tiga kali dan bertakbir
kepada Allah tigapuluh tiga kali maka itu adalah sembilanpuluh sembilan lalu
mengucapkan -sebagai penyempurna menjadi seratus- dengan “Tidak
ada ilah selain Allah tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segenap kerajaan dan
miliknya segenap puji-pujian. Dan Dia atas segala sesuatu Maha Berkuasa,
” niscaya dosa-dosanya diampuni meskipun seperti buih lautan.” (HR Muslim 3/262)
Tidak ada seorangpun manusia yang luput dari kesalahan dan dosa. Sehingga seorang muslim pastilah sangat berhajat akan ampunan Allah subhanaahu wa ta’aala agar dirinya selamat pada hari perhitungan kelak di akhirat.
Maka, saudaraku, sempatkanlah untuk membaca wirid-wird yang dianjurkan dan dicontohkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam selepas sholat lima waktu. Jangan menjadi hamba dunia yang menyangka bahwa jika sudah selesai sholat yang penting adalah segera kembali mengerjakan kesibukan duniawinya. Padahal apalah artinya segenap dunia yang dikejar dibandingkan dengan kebaikan yang dijanjikan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam jika kita mau saja mengisi waktu sejenak selepas sholat wajib harian kita.
Eramuslim
Jin Ikut Makan, Minum, Dan Tinggal Bersama Manusia
TERMASUK salah satu menyakiti dan melukai manusia, syaithan juga seringkali ikut serta dengan manusia dalam makan, minum dan tinggal. Hal ini dimaksudkan tentunya agar syaithan lebih leluasa dalam menjerumuskan dan menggoda manusia ke jalan yang sesat.
Dalam berbagai keterangan dikatakan, ketika seseorang makan, minum dan masuk atau keluar rumah tanpa menyebut nama Allah (tanpa berdoa), maka syaithan akan mengikutinya; ia akan ikut makan, minum dan tidur di rumah. Akan tetapi bagi mereka yang menyebut nama Allah ketika makan, minum dan tidurnya, maka syaithan tidak akan pernah menyentuh makanan, minuman dan tempat tidur atau tempat tinggal orang tersebut.
Untuk itu, pantas, kalau Rasulullah Saw senantiasa mengajarkan dan menganjurkan ummatnya untuk selalu membaca doa atau paling tidak menyebut nama Allah dalam setiap gerak geriknya termasuk dalam makan, minum dan tidurnya.
Hal ini, bukan saja untuk meraup pahala dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw, akan tetapi juga demi kebaikan orang tersebut, yakni terhindar dari gangguan jin kafir (syaithan) yang setiap detik berusaha mengganggu dan menjerumuskan manusia dalam kenistaan.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah hadits-hadits yang menerangkan tentang hal di atas:
“Syaithan akan ikut makan dan minum, ketika orang tersebut tidak mengucapkan doa atau tidak menyebut nama Allah terlebih dahulu.
Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwasannya Hudzaifah berkata: “Kami (para sahabat) apabila berkumpul bersama Rasulullah Saw, lalu dihadirkan makanan kepadanya, kami tidak berani menyentuh makanan tersebut sebelum Rasulullah Saw terlebih dahulu menyentuhnya. Suatu hari, dihidangkan kepada kami makanan tersebut. Tiba-tiba, datang seorang budak perempuan yang sudah tidak sabaran. Begitu melihat makanan di hadapan kami, ia langsung bergegas menghampirinya dan langsung menyodorkan tangannya untuk menyentuh makanan tersebut. Rasulullah Saw kemudian memegang dan menahan tangan budak wanita tadi. Tidak lama dari itu, datang juga seorang arab baduy, juga sama menyodorkan tangannya untuk meraih makanan, akan tetap Rasulullah Saw menahan dan memegang tangannya itu.
Rasulullah kemudian bersabda: “Sesungguhnya syaithan akan ikut memakan makanan yang tidak disebutkan nama Allah sebelumnya. Syaithan barusan datang menyertai budak wanita tadi, lalu syaithan itu bermaksud mengambil makanan dengan menggunakan tangan budak wanita itu. Demikian juga, setan datang menyertai orang arab baduy tadi untuk mengambil makanan, dan karena itulah saya pegang dan saya tahan tangan kedua orang tadi. Demi diri ku yang berada pada kekuasaanNya, sesungguhnya tangannya itu (tangan setan) berada pada tangan saya bersama dengan tangan budak wanita tadi” (HR. Muslim).
Setan akan merusak kekayaan manusia dan akan tinggal di dalam bejana / lemari yang tidak disebutkan nama Allah sebelumnya. Dalam sebuah hadits dikatakan, untuk menjaga agar setan tidak merusak harta dan tidak ikut masuk ke dalam rumah, sebaiknya ketika menutup pintu, lemari dan lainnya, terlebih dahulu berdoa atau paling tidak menyebut nama Allah.
Dalam sebuah hadits dikatakan:
“Rasulullah Saw bersabda: “Tutuplah pintu-pintu, dan sebutlah nama Allah (ketika menutupnya), karena setan tidak akan membuka pintu yang sudah terkunci dengan menyebut nama Allah. Tutup jugalah tempat air minum (qirab dalam bahasa Arab adalah tempat menyimpan air minum yang terbuat dari kulit binatang) dan bejana-bejana kalian (untuk masa sekarang seperti lemari, bupet, kulkas dan lainnya) sambil menyebut nama Allah, meskipun kalian hanya menyimpan sesuatu di dalamnya dan (ketika hendak tidur), matikanlah lampu-lampu kalian” (HR. Muslim).
Orang yang makan dan minum sambil berdiri, akan ditemani setan. Dalam berbagai keterangan, Rasulullah menganjurkan ummatnya agar ketika makan dan minum sambil duduk, tidak sambil berdiri. Kecuali ketika minum air zam zam, Rasulullah mensunatkan ummatnya untuk minum sambil berdiri, karena dalam sebuah hadits dikatakan, bahwa Rasulullah minum air zam zam sambil berdiri. Rasulullah melarang ummatnya untuk meminum atau makan sambil berdiri karena makan dan minumnya akan disertai oleh setan. Berikut ini hadits yang dimaksudkan:
“Rasulullah suatu hari melihat seorang laki-laki yang minum sambil berdiri. Lalu Rasulullah Saw berkata kepadanya: “Duduklah!” Laki-laki itu menjawab: “Mengapa saya mesti duduk?” Rasulullah Saw menjawab: “Apakah kamu bahagia kalau minum bersama kucing?” Laki-laki itu menjawab: “Tidak”. Rasulullah Saw bersbda kembali: “Sesungguhnya kamu tadi telah minum dengan sesuatu yang jauh lebih jahat dari pada kucing, yaitu setan” (HR. Imam Ahmad, dan Bazzar).
Setan ikut masuk ke dalam rumah yang tidak menyebut nama Allah (berdoa) ketika masuknya. Dalam sebuah hadits dikatakan: “Dari Jabir bin Abdillah bahwasannya ia mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Apabila seseorang masuk rumah, lalu ia menyebut nama Allah ketika masuk (rumah) dan ketika makan, maka syaithan akan berkata (kepada sesama syaithan lainnya): “Kalian tidak dapat nginep dan tidak bisa makan malam”. Namun apabila ia masuk rumah, dan tidak menyebut nama Allah (berdoa) ketika masuk dan makannya, syaithan akan berkata: “Nah, sekarang kalian bisa nginep dan bisa makan malam” (HR. Muslim).
Islampos
Hak Seorang Ibu Terhadap Anak Laki-lakinya
Dasarnya adalah masing-masing anggota keluarga tersebut harus bertaqwa. Salah satu manifestasi taqwa ialah berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain). Perlu disadari, bahwa pernikahan itu bukan hanya ikatan 2 orang anak manusia, tetapi mengikat 2 keluarga besar.
Jadi pernikahan itu merupakan risalah agung membentuk ukhuwah yang luas yang dasarnya saling kenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), dan saling menolong (tafakul) antara suami-istri, keluarga suami dan keluarga istri. Bila masing-masing pihak ridha, maka nilai pernikahan yang sakinah serta diridhai orang tua akan terwujud.
Sebelum menikah, seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban yang besar kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibundanya. Bila seorang anak laki-laki yang telah menikah, maka kewajiban berbakti kepada ibu ini tidak hilang, jadi suami adalah hak ibunda.
Bagaimana dengan anak perempuan yang telah menikah? Nah, bagi anak perempuan yang telah menikah, maka haknya suami. Jadi istri berkewajiban berbakti pada suami. Karena setelah Ijab kabul, berpindahlah hak dan kewajiban seorang ayah kepada suami dari anak wanitanya. Begitu besar kewajiban berbakti pada suami, sampai rasul pernah bersabda, “Bila boleh sesama manusia mengabdi (menyembah), maka aku akan menyuruh seorang istri mengabdi pada suaminya.”
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.” (Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah).
Ada seseorang yang datang, disebutkan namanya Muawiyah bin Haydah r.a., bertanya: “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah saw: “Ibumu.” Dengan diulang tiga kali pertanyaan dan jawaban ini.
Pengulangan kata “ibu” sampai tiga kali menunjukkan bahwa ibu lebih berhak atas anaknya dengan bagian yang lebih lengkap, seperti al-bir (kebajikan), ihsan (pelayanan). Ibnu Al-Baththal mengatakan:
“Bahwa ibu memiliki tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya. Karena kata ‘ayah’ dalam hadits disebutkan sekali sedangkan kata ‘ibu’ diulang sampai tiga kali. Hal ini bisa dipahami dari kerepotan ketika hamil, melahirkan, menyusui. Tiga hal ini hanya bisa dikerjakan oleh ibu, dengan berbagai penderitaannya, kemudian ayah menyertainya dalam tarbiyah, pembinaan, dan pengasuhan.
Hal itu diisyaratkan pula dalam firman Allah swt., “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun –selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun–, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14)
Allah swt. menyamakan keduanya dalam berwasiat, namun mengkhususkan ibu dengan tiga hal yang telah disebutkan di atas.
Imam Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad, demikian juga Ibnu Majah, Al Hakim, dan menshahihkannya dari Al-Miqdam bin Ma’di Kariba, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesunguhnya Allah swt. telah berwasiat kepada kalian tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ayah kalian, kemudian berwasiat tentang kerabat dari yang terdekat.”
Hal ini memberikan kesan untuk memprioritaskan kerabat yang didekatkan dari sisi kedua orang tua daripada yang didekatkan dengan satu sisi saja. Memprioritaskan kerabat yang ada hubungan mahram daripada yang tidak ada hubungan mahram, kemudian hubungan pernikahan.
Ibnu Baththal menunjukkan bahwa urutan itu tidak memungkinkan memberikan kebaikan sekaligus kepada keseluruhan kerabat.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang ibu yang lebih diprioritaskan dalam berbuat kebaikan dari pada ayah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Imam Ahmad, An-Nasa’i, Al-Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah r.a. berkata:
“Aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw., siapakah manusia yang paling berhak atas seorang wanita?” Jawabnya, “Suaminya.” “Kalau atas laki-laki?” Jawabnya, “Ibunya.”
Demikian juga yang diriwayatkan Al-Hakim dan Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang bertanya:
“Ya Rasulallah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku pernah menjadi pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku.” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama kamu belum menikah.”
Maksudnya menikah dengan lelaki lain, bukan ayahnya, maka wanita itu yang meneruskan pengasuhannya, karena ialah yang lebih spesifik dengan anaknya, lebih berhak baginya karena kekhususannya ketika hamil, melahirkan dan menyusui.
Islampos
Kelakar Rasulullah SAW
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib merupakan Rasulullah yang terakhir. Beliau selalu berbicara dengan penuh makna, dengan fasihah, dengan tenang, dengan penuh wibawa, dan dengan senyum.
Meski demikian, beliau kadang-kadang juga berkelakar dengan sahabat-sahabatnya. Tak lain tujuannya untuk membuat suasana akrab, hangat, dan segar. Beliau tak segan-segan melakukannya sepanjang tak mengabaikan hal-hal yang mendasar. Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa kelakar beliau bukanlah kelakar kosong. Seperti halnya dalam pembicaraan lainnya, kelakar beliau pun mengandung “hikmah” positif bagi sahabat-sahabatnya.
Suatu ketika, salah seorang sahabat beliau bertanya, “Wahai Rasulullah. (Maaf) apakah Anda bergurau?” Spontan beliau menjawab, “Aku memang bergurau, akan tetapi apa yang aku ucapkan itu benar adanya” (Syamail al-Tirmidzi).
Dikisahkan, seorang pria datang kepada Rasulullah untuk meminta tunggangan. Kata beliau, “Aku akan membawakan untuk kamu seekor anak unta.” Pria tersebut mengira Rasulullah akan memberinya seekor anak unta yang kecil dan lemah. Dia pun berujar, “//Kok//, anak unta? Apa yang bisa kulakukan dengan anak unta yang kecil dan lemah?” Sambil tersenyum, Rasulullah bertanya, “Memangnya ada unta yang tidak ada induknya?” Lalu, dia berpikir, benar juga. Unta dewasa pun sejatinya anak dari induknya. Maka, dia pun tersipu.
Kisah lainnya dikabarkan seorang pria badui yang tak rupawan bernama Zahir rajin berjualan. Suatu hari, ketika dia tengah berjualan, seseorang mendekapnya dari belakang. “Lepaskan aku! Siapa ini?” kata Zahir sambil menoleh. Mengetahui yang mencandainya Rasulullah, dia pun berusaha menempelkan punggungnya ke dada beliau. Rasulullah berkata, “Siapa yang hendak membeli budak?” “Kalau begitu, aku tidak laku wahai Rasulullah?” Kata beliau, “Bukan begitu. Kamu laku di sisi Allah.”
Alkisah, suatu ketika seorang wanita mendatangi Rasulullah. Dia berkata, “Suamiku mengundang engkau, wahai Rasulullah.” Kata beliau, “Siapa namanya? Apakah, dia yang di kedua matanya ada putihnya?” Maka, respons Rasulullah tersebut sempat mengejutkan si wanita, “Apakah engkau pernah melihat suamiku?” tanyanya polos. Lalu dengan enteng Rasulullah mengatakan, “Memang ada mata yang tidak ada putihnya?”
Rasulullah juga dikabarkan pernah mencandai Anas RA dengan panggilan, “Hai, orang yang punya dua telinga!” Beliau juga kerap mencandai anak-anak. Di antara caranya dengan memegangnya dari belakang. Hal tersebut dilakukan karena beliau mencintai dan menyayangi anak-anak.
Rasulullah suka bergurau dan melucu dengan para bocah. Apa yang Rasul perbuat terhadap al-Hasan dan al-Husain sudah dikenal luas. Terhadap dua bocah tersebut beliau junjung, beliau cium, dan beliau biarkan menaiki punggungnya saat shalat.
Beliau juga sering melucu dengan Aisyah RA, istrinya, bahkan suatu saat beliau tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya. Maka, bila Anda hendak berkelakar, berkelakarlah secara wajar dan cerdas. Jangan berkelakar secara berlebihan. Apalagi, bertolakbe lakang dengan tuntunan al-Islam.
Republika
Selasa, 21 Oktober 2014
Sepuluh Alam jin menurut Al-Qur'an Dan Sunnah
DALAM buku yang berjudul “Alam Jin Menurut Al Qur’an dan As Sunnah”, Abdul Hakim menjelaskan sepuluh hal tentang alam jin menurut Al Qur’an dan Sunnah.
- PERTAMA
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku (Adz Dzaariyaat(51) : 56)
- KEDUA
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang orang yang
shalih dan diantara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah
kami menempuh jalan yang berbeda beda.” (Al Jin(72) : 11).
Berkata Ust. Abdul Hakim : “Ada yang mukmin pengikut tariqah ahlus sunnah wal jama’ah menurut pemahaman salafush shalih, ada yang mukmin pengikut mu’tazilah dan ada yang mukmin pengikut ahlul bid’ah lainnya.
- KETIGA
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam)
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang
sangat panas. (Al Hijr(15) : 26-27).
- KEEMPAT
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ
وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ
لِلظَّالِمِينَ بَدَلا
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah
kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari
golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu
mengambil dia dan keturunan keturunannya sebagai pemimpin selain
daripada Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu
sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang orang yang zalim.” (Al Kahfi(18): 50)
- KELIMA
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat,
“Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang orang yang
kafir.” (Al Baqarah(2) : 34).
Berkata Ust. Abdul Hakim, “Oleh karena itu apabila ada manusia yang memohon pertolongan kepada jin, maka ia membuat jin semakin sombong, takabur, dan besar kepala.”
- KEENAM
يَا بَنِي آدَمَ لا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ
أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا
لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ
حَيْثُ لا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ
لِلَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ
“Hai anak Adam, janganlah sekali kali kamu dapat
ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu
dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut
pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan setan itu pemimpin
pemimpin bagi orang orang yang tidak beriman.”(Al A’raaf(07): 27).
- KETUJUH
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri, melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya, larangan dari Rabb-nya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu ,(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."(Al Baqarah(2) : 275)
- KEDELAPAN
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasannya ada beberapa orang
laki laki diantara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki
laki diantara jin, maka jin jin itu menambah bagi mereka dosa dan
kesalahan.” (Al Jin(72): 6).
Juga hadits yang merupakan do’a yang kita baca ketika masuk WC (yang artinya) : “Ya Allah aku berlindung kepada Mu dari jin yang laki laki dan yang perempuan”.
- KESEMBILAN
Pada footnote-nya disebutkan makanan jin diantaranya adalah tulang dan kotoran, makanan manusia yang tidak menyebut nama Allah, dan minuman yang terlarang.
- KESEPULUH
Maraknya tayangan tayangan tentang jin di media hanya memasyhurkan setan. Yang berakibat semakin membesarkan dan mengagungkan Iblis dengan penuh rasa takut. Oleh karena itu buku ini perlu sekali dibaca dan dipahami oleh kaum muslimin. Agar kaum muslimin memahami permasalahan tentang alam jin sesuai Al Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman para shahabat.
Secara khusus, buku yang ditulis oleh Ustadz Abdul Hakim ini membantah buku yang telah terbit sebelumnya yang ditulis oleh seorang wartawan Mesir, dengan judul terjemahan Indonesia “Dialog dengan Jin Muslim”. Wartawan Mesir yang bernama Muhammad Isa Dawud ini mengambil semua khabar untuk bukunya dari Jin Muslim sahabatnya. Yang berakibat mementahkan argumentasi ilmiah
dalam beragama, dengan hanya merujuk dari perkataan Jin Muslim sahabatnya itu. Salah satu contohnya adalah penetapan suatu hadits itu sah atau tidak dengan hanya merujuk pada perkataan Jin Muslim sahabatnya itu.
Islampos
Para Syuhada Perang Uhud
Para syuhada Uhud adalah orang-orang dekat Rasul yang mulia. Allah telah melapangkan dada mereka untuk masuk Islam, maka mereka beriman kepada risalah beliau. Mukjizat-mukjizat beliau yang mereka lihat menambah keyakinan mereka. Maka kehidupan mereka pun berubah, mereka membentuk diri mereka menjadi pribadi-pribadi baru.
Mereka tinggalkan setiap perkara yang menentang syariat Allah di atas jalan Islam yang mulia. Kesenangan mereka adalah di dalam beribadah kepada Rabb mereka dan taat kepada Rasul-Nya. Tubuh mereka seperti tubuh kita, tersusun dari bahan yang sama. Tubuh kita dan tubuh mereka menjadi tempat hidupnya makhluk-makhluk Allah yang berupa organisme mikroskopik. Namun, ruh mereka bersih dan jiwa mereka besar . Tubuh mereka bekerja keras untuk menggapainya. Hal itulah yang membuat mereka menjadi generasi istimewa. Mereka bagaikan para pendeta di waktu malam dan penunggang kuda di waktu siang. Jika ada penyeru yang memanggil untuk berjihad, mereka tinggalkan segala sesuatu dibelakang mereka untuk mentaati Allah yang menciptakan mereka, dengan penuh keyakinan bahwa pahala yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal. Bahkan, diantara mereka ada yang pergi berjihad dalam keadaan junub, mereka tidak sempat mandi janabah karena kuatnya keterikatan mereka untuk segera memenuhi panggilan jihad.
Para sahabat mulia yang berlaku shiddiq kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala itu mendapatkan ujian yang baik pada perang Uhud. Mereka mengangan-ngangankan mati syahid dengan penuh kejujuran dan beramal untuk mendapatkannya, maka Allahpun memilih mereka untuk diletakkan di sisi-Nya dan mengambil mereka sebagai syuhada’ dalam keadaan maju dan tidak mundur. Mereka beruntung mendapatkan keridhaan Allah san Jannah yang luasnya seluas langit dan bumi. Merekapun juga memiliki karomah-karomah yang besar, di antara karomah itu ada yang bias diketahui oleh manusia dan ad juga karomah yang lebih besar yang tidak dapat dimengerti oleh manusia.
Jabir bin Abdullah r.a berkata, “Pada malam hari menjelang terjadinya Perang Uhud, aku dipanggil ayahku, beliau berkata, “ Aku merasa bahwa aku akan menjadi orang yang pertama kali terbunuh diantara para sahabat Nabi SAW. Dan sepeninggalanku, aku tidak meninggalkan orang yang lebih penting dari dirimu selain Rasulullah SAW. Aku memiliki hutang, maka lunasilah hutang-hutang itu. Perlakukanlah saudara-saudara perempuan dengan baik. Dan benar, pada pagi harinya beliau menjadi orang pertama yang terbunuh. Beliau dikubur bersama orang lain dalam satu liang. Namun, aku merasa tidak nyaman membiarkan beliau dikubur bersama orang lain dalam satu liang, maka enam bulan kemudian aku membongkar kuburnya, dan aku mendapati keadaan jasadnya seperti ketika dulu aku menguburkannya.”(HR. Bukhari)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan, “…Pada masa kekhilafan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ada seseorang yang mendekatiku seraya berkata, “ Wahai Jabir, para pekerja Mu’awiyah telah membangkitkan ayahmu (menggali kuburannya), hingga terlihat sebagian jasadnya.” Maka aku segera mendatanginya dan kudapati keadaan jasad beliau sama seperti aku menguburkannya, tidak berubah sama sekali… maka aku menimbunnya kembali.” (HR. Ahmad)
Jarir bin Abdullah r.a berkata, “ Ketika ayahku terbunuh pada Perang Uhud, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Jabir, maukah aku beritahukan apa yang dikatakan Allah kepada ayahmu?” Jabir menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Allah tidak mengajak bicara seseorang kecuali dari balik hijab, kecuali kepada ayahmu. Allah mengajak berbicara ayahmu dengan berhadap-hadapan, Dia berfirman, “Wahai Abdullah, berangan-anganlah, niscaya Aku penuhi.” Abdullah menjawab, “Wahai Rabbku, kembalikanlah aku ke dunia, sehingga aku terbunuh di jalanmu sekali lagi.” Allah berfirman, “Aku telah memutuskan bahwa seseorang yang telah mati tidak akan kembali ke dunia lagi.” Abdullah berkata, “Wahai Rabbku, kalu begitu kabarkanlah keadaanku kepada orang-orang yang ada di belakangku.” Maka Allah SWT menurunkan ayat,
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Rabbnya dengan mendapat rezki.”
Dalam riwayat Imam Malik dari Abdullah bin Abi Sha’sha’ah, disebutkan bahwa Amru bin Jamuh dan Abdullah bin Amru adalah dua orang dari golongan Anshar. Kuburan keduanya digali karena dilewati proyek aliran air. Mereka berdua dikuburkan dalam satu liang. Keduanya termasuk orang-orang yang mati syahid dalam Perang Uhud. Ketika kuburan mereka digali untuk dipindahkan ke tempat lain, keadaan mereka tidak berubah, seolah-olah mereka baru saja meninggal kemarin. Salah seorang dari mereka ada yang terluka, dia meletakkan tangannya pada lukanya tersebut dan dikuburkan dalam keadaan seperti itu. Ketika tangan itu ditarik dari lukanya, tangan itu kembali lagi seperti sedia kala. Padahal jarak antara Perang Uhud dan waktu penggalian kubur tersebut empat puluh enam tahun.
Al- Qurthubi
menyebutkan riwayat ini dengan judul ‘Bumi tidak akan memakan jasad para
syuhada’ karens mereka pada hakikatnya itu hidup. Kisah seperti itu
terdapat di dalam hadis-hadis shahih tentang para syuhada’ Uhud dan
selain mereka. Diriwayatkan bahwa ketika Mu’awiyah r.a ingin mengalirkan
air dari mata air di kota madinah melalui kuburan para syuhada Uhud,
beliau memerintahkan manusia untuk memindahkan jenazah keluarga mereka
yang dikubur disana. Peristiwa ini terjadi pada masa kekhilafan beliau,
yaitu lima puluh tahun setelah perang Uhud. Namun mereka mendapati
keadaan jasad mereka seperti mereka ketika dikuburkan, sampai-sampai
semua yang hadir melihat ketika sekop melukai kaki Sayyidus Syuhada’
Hamzah bin Abdul Muthalib, darahnya masih tetap mengalir
Pensyarah Aqidah Thahawiyah berkata, “Allah telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi… adapun para syuhada’, di antara mereka ada yang disaksikan (jasadnya masih utuh) setelah beberapa tahun dari waktu dia dikuburkan. Ada kemungkinan jasadnya akan tetap kekal di dalam tanah hingga hari kiamat. Dan mungkin juga, jasadnya akan rusak bersama berlalunya waktu yang panjang. Seolah-olah-wallahu ‘alam -, semakin sempurna kesyahidan seseorang, maka orang yang mati syahid itu lebih utama dan kekekalan jasadnya akan lebih lama.”
Eramuslim
Minggu, 19 Oktober 2014
Keistimewaan Berbakti Kepada Orang Tua
"Bila kepada ibumu engkau berbakti, maka Allah yang
paling bersyukur Dia membalas amal baktimu dengan pahala yang amat besar
sekalipun amal yang kau lakukan minim, sangat sedikit "
1. Sebagai Penebus Dosa
Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibban menyuguhkan sebuah riwayat
bersumber dari Abdullah bin Umar: Pada suatu ketika ada seorang lelaki datang
menghadap Rasuluilah, seraya berkata: "Ya Rasulallah, aku telah melakukan
dosa besar. Adakah taubatku masih bisa diterima?" Rasuluilah balik
bertanya:" Adakah ibumu masih hidup?" Dalam riwayat lain
diterangkan,bahwa Rasuluilah bertanya: "Adakah kamu masih memiliki kedua
orangtua?" Jawabnya: "Tidak, aku sudah tidak memiliki orangtua."
Lantas Rasulullah kembali bertanya: "Adakah kamu masih memiliki bibi
(saudara perempuan ibu)?" Jawabnya: "Ya, masih." Kemudian
Rasuluilah bersabda: "Sebagai tebusannya, berbaktilah kepada bibimu."
Dalam pandangan Islam, khalah (bibi) kedudukannya adalah sama dengan ibu
Ibnu Abbas pada suatu ketika bercerita kepada Atha' bin
Yasar, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap kepadanya. Lelaki itu
bertanya: "Ya Ibn Abbas, aku telah melamar seorang wanita jelita. Tetapi
dia menolak lamaranku. Pada saat yang lain dia dilamar lelaki lain, dan lamaran
itu diterima. Hal tersebut membuat hatiku kalut dan cemburu, sehingga wanita
Itu aku bunuh. Ya Ibn Abbas, masihkah terbuka pintu taubat bagiku?" Ibnu
Abbas lalu bertanya: "Adakah ibumu masih hidup?" Jawabnya:
"Tidak, ibuku sudah meninggal." Selanjutnya Ibnu Abbas berkata:
"Bertaubatlah kepada Allah dan bertaqarrublah kepada-Nya dengan semaksimal
mungkin."
Dalam kisah di atas ditegaskan, bahwa kemudian Atha'
mengajukan pertanyaan kepada Ibnu Abbas: "Mengapa kamu menanyakan apakah
ibunya masih hidup atau sudah meninggal?" Jawab Ibnu Abbas: "Aku
belum pernah mengetahui suatu amalan pun yang lebih mendekatkan diri kepada
Allah selain daripada berbakti kepada ibu." Keterangan ini juga
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalara kitab Al-Adahul-Mufrad, dan oleh Imam
Baihaqi dalam kitab Syu 'abul-lman.
Jadi, "berbakti kepada orangtua, pada dasarnya dapat
melebur dosa besar." Ini sejalan dengan riwayat yang dinuqil Imam Safarini
dalam kitab Syarah Manzhumatil Adab yang bersumber dari Imam Ahmad. Yakni
berbakti kepada orangtua dapat melebur dosa-dosa besar. Dan Imam Ahmad
menegaskan, bahwa keterangan ini berdasarkan apa yang dituturkan oleh Imam Ibnu
Abdil-Bar dari Makkhul.
2. Menambah Keberkahan Hidup
Rasulullah telah menghimbau dengan sabdanya:
"Barangsiapa ingin panjang umur dan beroleh rizki melimpah ruah, maka
hendaklah dia berbakti kepada orangtua dan menyambung tali persaudaraan."
(HR Imam Ahmad dari Anas bin Malik).
Rasulullah telah menegaskan, bahwa barangsiapa berbakti
kepada orangtua, maka dia akan memperoleh kebahagiaan panjang umur yang penuh
keberkatan.(HR. Imam Abu Ya'la dan Thabrani bersumber dari Mu'adz bin Jabal)
Imam Ibnu Majah dan Ibnu Hibban menyuguhkan sebuah riwayat
bersumber dari Tsauban, bahwa Rasulullah pada suatu ketika pernah menegaskan
bahwa seseorang adakalanya mendapat kesempitan ekonomi sebagai akibat dari dosa
yang dilakukan. Dan tidak ada yang dapat menolak takdir Allah kecuali doa,
serta tidak ada yang dapat menambah keberkatan umur kecuali dengan berbakti
kepada orangtua. Jadi, dalam konteks ini Rasulullah menggariskan, bahwa
kelapangan rizki serta keberkatan hidup dapat digapai dengan memperbanyak
taubat dan meningkatkan birrul-walidain.
Imam Hakim juga mengetengahkan sebuah riwayat yang bersumber
dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah telah berpesan, "Berbaktilah kepada
kedua orangtuamu, tentu anak-anakmu kelak akan berbakti kepadamu. Barangsiapa
dimintai maaf oleh saudaranya hendaklah dia memaafkannya, baik dia berada di pihak
yang benar maupun di pihak yang salah. Apabila dia tidak melakukannya, maka
kelak tidak akan dapat mendatangi telagaku di sorga."
Imam Thabrani meriwayatkan sebuah hadis bersumber dari
Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah pernah berpesan: "Berbaktilah kepada
orangtuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Peliharalah kehormatan
istri orang lain, niscaya istrimu juga akan terpelihara dari perbuatan
tercela."
Jadi, orangtua adalah cermin masa depan anak. Bila dalam
rumahtangga terbina hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, saling
memenuhi hak masing-masing serta saling menghormati, maka sudah barang tentu
anak-anak pun pada masa mendatang akan selalu menjunjung tinggi perintah
orangtua, memelihara dan menjaganya ketika sudah lanjut usia. Sebab pada awal
mulanya orangtua tersebut telah memberikan contoh langsung dalam bentuk
perbuatan berbakti kepada orangtua. Artinya, orangtua tersebut telah melakukan
birrul walidain di hadapan anak-anak, sehingga mereka tidak merasa berkeberatan
mengikuti jejak langkah orangtuanya. Kebiasaan dalam rumahtangga akan dibawa
oleh anak-anak dalam mengarungi jenjang rumahtangga baru. Karena itu suasana
damai, saling menghormati, dan penuh kasih harus diciptakan setiap saat. Cara
yang paling tepat adalah dengan memelihara dan memenuhi hak masing-masing.
Imam Nasai menyuguhkan sebuah riwayat bersumber dari Aisyah,
bahwa Rasulullah pernah bercerita: Ketika beliau memasuki sorga, mendengar
sebuah qiraah (bacaan Al-Qur'an). Beliau bertanya: "Siapa dia?"
Jawabnya: "Dia adalah Haritsah bin Nukman yang selalu berbakti kepada
ibunya." Suara merdu alunan kalam Ilahi tersebut sebagai balasan atas
kebaikannya dalam berbakti kepada orangtua. Dan memang Haritsah bin Nukman
seorang yang paling berbakti kepada orangtua, sehingga memperoleh kedudukan
serta derajat tinggi di sorga.
Pada suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Abi
Darda', lalu bercerita. Dalam ceritanya dia berkata: "Ayahku hingga kini
masih selalu mengatur diriku, sekalipun aku sudah dinikahkan. Bahkan sekarang
memerintahkan kepadaku agar menceraikan istriku." Abi Darda' mendengar
pengaduan lelaki tersebut langsung berkata: "Aku bukan termasuk model
orang yang akan menyuruh kamu mendurhakai orangtua, dan bukan pula orang yang
memerintahkan kepadamu untuk menceraikan istri. Tetapi kalau kamu bersedia
mendengarkan, aku akan menyampaikan sesuatu yang pernah aku dengar dari
Rasulullah. Beliau pernah bersabda: "Ayah adalah pintu sorga yang paling
tengah. Maka bila kamu mau, peliharalah pintu itu. Dan jika tidak, maka
tinggalkanlah." Demikian Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dalam kitab
Shahihnya.
Imam Baidhawi menjelaskan tentang maksud hadis di atas,
bahwa amal perbuatan yang paling tepat untuk dijadikan sarana masuk sorga,
serta jalan yang paling tepat untuk meraih derajat yang mulia dan kedudukan
yang luhur di dalam sorga, adalah berbakti kepada kedua orangtua, menghormati,
menyantuni, dan memelihara serta mengendalikan diri jangan sampai menyinggung
apalagi menyakiti perasaan maupun badannya.
Imam Al-Hifni menegaskan, bahwa pengertian yang terkandung
dalam hadis tersebut adalah bahwa taat dan berbakti kepada orangtua merupakan
penyebab yang mengantar seseorang masuk pintu sorga yang paling utama, dan
bersukaria di dalamnya. Jadi, yang dimaksud: Ayah adalah pintu sorga yang
paling tengah bukanlah suatu pengertian kongkrit. Tetapi sejalan dengan sebuah
riwayat hadis marfu'yang menegaskan: "Pintu sorga yang paling tengah
selalu terbuka bagi mereka yang berbakti kepada kedua orangtua.
Barangsiapa berbakti kepada kedua orangtua, baginya
dibukakan pintu sorga. Dan barangsiapa durhaka kepada kedua orangtua, maka
pintu sorga tertutup buatnya." Jadi, sorga hanya diberikan kepada
seseorang yang berbakti kepada orangtua. Dan pintu neraka terbuka luas bagi
mereka yang mendurhakainya. Demikian Ibnu Syahin mengetengahkan sebuah riwayat
dalam kitab At-Targhib, dan Imam Dailami dalam kitab Musnadul-Firdaus.
Keberkatan hidup, kebahagiaan lahir batin bagi seseorang
sangat tergantung pada bagaimana dia menyikapi terhadap orangtua. Semakin
tinggi tingkat ketaatan dan kebaktiannya, maka keberkatan hidup yang semakin
luas pun menyertainya.
Semoga kita semua dapat memahami dan mengamalkan teladan
dari kisah-kisah sahabat yang semuanya diriwayatkan dalam hadist Nabi SAW,
Aamiin Yaa Robbal 'aalamiin..
Langganan:
Postingan (Atom)