Suatu hari, ketika Imam Hasan al-Bashri sedang duduk di dalam rumahnya yang sederhana, beliau didatangi oleh serombongan delegasi budak-budak dari negeri Bashrah.
Delegasi itu berkata kepadanya, “Ya Taqiyuddin, majikan kami memperlakukan kami dengan buruk dan tidak berperikemanusiaan. Kami berharap pada khutbah Jumat yang akan datang Tuan bisa membicarakan tentang kasus kami, supaya para pemilik budak melepaskan budak-budaknya dan tidak memperlakukan mereka dengan kejam.”
Imam Hasan al-Bashri mendengarkan permohonan delegasi itu dengan baik tanpa berkomentar apa-apa.
Silih berganti Jumat berlalu, tetapi sang imam tak pernah membicarakan perihal budak di khutbah Jumatnya.
Barulah kemudian pada suatu Jumat, beliau berkhutbah tentang keutamaan membebaskan budak dalam Islam dan besarnya dosa berbuat kejam terhadapnya serta tidak berperikemanusiaan terhadap budak.
Seusai khutbah Jumat itu, banyak kaum muslimin yang membebaskan budaknya karena Allah Ta’ala, dan delegasi Bashrah juga datang kembali ke rumah sang imam. Tetapi kedatangannya ini bukan untuk mengucapkan terima kasih.
Mereka berkata, “Wahai Imam Hasan, kami datang kepada Tuan bukan untuk berterima kasih, tetapi untuk mengkritik Tuan!”
Imam Hasan al-Bashri terkejut mendengar perkataan yang cukup pedas dari delegasi itu. “Mengapa begitu?” Tanya Imam Hasan kepada mereka.
Mereka menjawab, “Semula kami datang dan mengadukan hal-ihwal kami ke sini dengan harapan supaya Tuan cepat-cepat menyampaikan khutbah Jumat itu, karena kami dan rekan-rekan kami butuh penyelesaian yang segera.”
Imam Hasan al-Bashri tidak menjawab gugatan mereka, beliau balik bertanya, “Tahukah kamu, mengapa aku menunda khutbah Jumatku itu?” Mereka menjawab, “Allahu A’lam.”
Imam Hasan kemudian menerangkan, “Aku menunda bicaraku tentang pembebasan budak, karena aku belum mempunyai uang untuk membeli budak. Setelah Allah Ta’ala mengaruniai aku uang untuk membeli budak, kemudian kubebaskan dia sesuai dengan tema pembicaraanku dalam khutbah Jumat itu, barulah aku memerintah orang lain untuk membebaskan budak.''
Imam Hasan melanjutkan, ''Kaum muslimin akan menyambut seruan Allah Rabbul alamin, bila mereka melihat bicara dan perbuatanku sejalan!”
Inilah ruh dari nasihat, yaitu bukti real dari pengucapnya. Dialah magnet yang menarik seseorang untuk
mengamalkan apa yang didengarnya, meski dengan bahasa yang sangat sederhana sekalipun, tanpa diembel-embeli dengan istilah-istilah ilmiah sedikit pun.
Betapa banyak konsep dan teori bagus yang sudah dirumuskan, jika tak pernah diaplikasikan dalam tataran praktis, hanya menjadi sampah belaka.
Demikian pula orang yang hanya pandai merangkai kata tanpa pernah diwujudkan secara nyata, boleh jadi ia hanya menjadi bahan cibiran bagi banyak orang, dan ia layak menuai kebencian dari Allah (ash-Shaff: 3).
Apa yang dilakukan tokoh besar Tabi’in ini sangat menyentuh kita. Selain mengajarkan kesabaran, ketenangan, dan tak mudah terprovokasi, dari wejangan yang diberikannya kepada publik, Imam Negeri Bashrah ini enggan terjebak ke dalam seremonial belaka.
Ia ingin menjadi sebuah gerakan yang membuahkan amal. Bukan hanya terhadap orang lain, tapi yang lebih penting lagi adalah terhadap dirinya sendiri.
Republika Online