"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Jumat, 10 Oktober 2014
Pengorbanan
Dikisahkan para malaikat menyoroti kekayaan yang dimiliki Nabi Ibrahim. Kita mengenal nabi yang kaya hanya Nabi Sulaiman. Tapi, ternyata Nabi Ibrahim juga kaya. Apalagi, sejak Nabi Ibrahim mendapatkan sumur zamzam. Ternaknya maju. Konon, saat itu Nabi Ibrahim memiliki 12 ribuan domba dan unta.
Saat itu, Allah membela Nabi Ibrahim bahwa hati beliau bersih. Iman beliau kuat. Hidupnya untuk Allah. Saat Nabi Ibrahim ditanya, "Punya siapa harta yang engkau miliki?" Dijawab oleh Nabi Ibrahim, "Punya Allah, sedang dititipkan kepadaku. Jika Allah hendak mengambilnya, bahkan anakku sekalipun punya Allah. Jika Allah menghendaki, anakku pun tak apa-apa, kuserahkan."
Begitu kurang lebih epik yang dikisahkan guru saya di pesantren. Kisah yang saya ingat. Dan, ujian pun datang tidak jauh-jauh. Nabi Ibrahim diuji perkataannya beliau sendiri. Dan, kelak, Allah membuka penglihatan malaikat akan imannya Nabi Ibrahim, bahkan keluarganya, yakni imannya Siti Hajar dan Ismail.
Saat isyarat mimpi untuk menyembelih Nabi Ismail datang, tanpa ragu Nabi Ibrahim dan keluarganya membuktikan imannya.
Nabi Ismail yang saat itu berusia tujuh tahun (menurut riwayat lain 13 tahun) berkata kepada ayahnya agar mengikat kaki dan tangannya. Agar ayahnya tidak mendapatinya berontak. Ia meminta ayahnya agar menghadapkan wajahnya ke tanah agar ayahnya tidak melihatnya, lalu jatuh ibanya. Ia meminta jangan melihat dulu anak-anak sebayanya agar tidak jatuh sedihnya.
Dimulailah penyembelihan itu. Tapi, pisau itu tumpul. Kali kedua, Nabi Ismail malah meminta agar ayahnya menghadapkan wajahnya ke langit. Agar bisa melihat wajah ayahnya dan melaksanakan perintah Allah dengan gembira. Bukan dengan ketakutan. Dan, Nabi Ismail meminta ayahnya melepas ikatan kaki dan tangannya agar bisa menunjukkan ketenangan.
Kali ini pun pisau itu tumpul. Nabi Ibrahim mencoba menggoreskannya ke batu. Batu itu terbelah. Bertanyalah Nabi Ibrahim, "Wahai pisau, mengapa engkau kupakai untuk menyembelih anakku engkau tidak sanggup? Padahal, untuk membelah batu engkau sanggup?"
Batu menjawab, "Aku diperintah Allah agar tidak memotong leher Ismail. Bagaimana mungkin aku bermaksiat? Melawan perintah-Nya?"
Malaikat menyaksikan kesungguhan hati ayah dan anak ini. Bahkan, kesungguhan dan keteguhan hati Siti Hajar. Bagaimana ketika silih berganti setan menggoda agar mereka membatalkan niat ini. Peristiwa ketika setan dilempar batu dijadikan manasik haji. Jumratul uulaa, jumratul wustha, dan jumratul 'aqabah.
Akhirnya, Allah pun mencukupi ujian ini. Dan, menggantinya dengan kambing gibas. Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar berhasil melewati ujian pengorbanan ini. Dan, tertinggallah kita. Bagaimana pengorbanan kita? Kita memotong waktu kerja untuk shalat saja sering tidak dalam pemotongan (pengorbanan terbaik). Selalu mendahulukan pekerjaan dan menomorduakan shalat. Sebagian kita malah tidak sanggup memotong sama sekali kegiatan dan aktivitas keseharian kita untuk shalat dan menghadap Allah.
Sanggupkah kita memotong tidur malam kita? Untuk shalat malam? Memotong harta kita untuk zakat dan sedekah? Dalam bentuknya yang terbaik. Bukan yang asal-asalan, bukan jangan sampai tidak zakat dan sedekah.
Sanggupkah kita memotong nafsu syahwat kita? Ketika datang? Jika sanggup, perbuatan kita pun akan dilihat Allah dan para malaikat-Nya.
Republika