"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Senin, 07 Mei 2012
Keajaiban Matematika Dalam Al-Qur'an
Keajaiban Al Quran dilihat dari sisi kandungannya telah banyak ditulis dan diketahui, tetapi keajaiban dilihat dari bagaimana Al Quran ditulis/disusun mungkin belum banyak yang mengetahui. Orang-orang non-muslim khususnya kaum orientalis barat sering menuduh bahwa Al Qur’an adalah buatan Muhammad. Padahal kalau kita baca Al Qur’an ada ayat yang menyatakan tantangan kepada orang-orang kafir khususnya untuk membuat buku/kitab seperti Al Quran dimana hal ini tidak mungkin akan dapat dilakukannya meskipun jin dan manusia bersatu padu membuatnya. Tulisan singkat ini bertujuan untuk menyajikan beberapa keajaiban Al Qur’an dilihat dari segi bagaimana Al Qur’an ditulis, dan sekaligus secara tidak langsung juga untuk menyangkal tuduhan tersebut, dimana Muhammad sebagai manusia biasa tidak mungkin dapat melakukan atau menciptakan sebuah Al Qur’an. Pandangan sains secara konvensional menempatkan matematika sebagai suatu yang prinsipil dari sebuah cabang pengetahuan dimana alasan dikedepankan, emosi tidak dilibatkan, kepastian menjadi hal yang ingin diketahui, dan kebenaran hari ini merupakan kebenaran untuk selamanya. Dalam masalah agama, ilmuan memandang bahwa semua agama sama, karena semua agama sama-sama tidak mampu memverifikasi atau menjustifikasi kebenaran melalui pembuktian yang dapat diterima oleh logika. Jadi suatu hal dikatakan valid jika ada bukti nyata, dan pembuktian ini merupakan sebuah prosedur yang dibentuk untuk membuktikan suatu realitas yang tak terlihat melalui sebuah proses deduksi dan konklusi yang hasil akhirnya dapat diterima oleh semua pihak. Dengan dasar tersebut, tulisan ini mencoba untuk membawa pembaca pada suatu kesimpulan bahwa Al Qur’an yang ditulis menurut aturan matematika, merupakan bukti nyata bahwa Al Qur’an adalah benar-benar firman Allah dan bukan buatan Nabi Muhammad. Kiranya patut juga direnungi apa yang dikatakan oleh Galileo (1564-1642 AD) bahwa . “Mathematics is the language in which God wrote the universe (Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan dalam menuliskan alam semesta ini)” ada benarnya. Kebenaran bahasa matematika tersebut akan dibahas sekilas sebagai tambahan dari tema utama tulisan ini.
Angka-angka Menakjubkan dari Beberapa Kata dalam Al Qur’an
Kalau kita buka Al Quran dan kita perhatikan beberapa kata dalam Al Quran dan menghitung berapa kali kata tersebut disebutkan dalam Al Quran, kita akan peroleh suatu hal yang sangat menakjubkan. Mungkin kita betanya, berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencari dan menghitungnya. Dengan kemajuan teknologi khususnya komputer, hal tersebut tidak menjadi masalah. Tabel 1 menyajikan frekuensi penyebutan beberapa kata penting dalam Al Qur’an yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan tabel tersebut ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik. Misalnya pada kata “dunya” dan “akhirat” yang disebutkan dalam Al Qur’an dengan frekuensi sama, kita dapat menafsirkan bahwa Allah menyuruh umat manusia untuk memperhatikan baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat secara seimbang. Artinya kehidupan dunia dan akhirat sama-sama penting bagi orang Islam. Selanjutnya pada penyebutan kata “malaaikat” dan “syayaathiin” juga disebutkan secara seimbang. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa kebaikan yang direfleksikan oleh kata “malaaikah” akan selalu diimbangi oleh adanya kejahatan yang direfleksikan oleh kata “syayaathiin”. Hal lain juga dapat kita kaji pada beberapa pasangan kata yang lain.
Tabel 1. Jumlah Penyebutan beberapa Kata Penting dalam Al Quran
Sumber: From the Numeric Miracles In the Holy Qur’an by Suwaidan, www.islamicity.org
Beberapa kata lain yang menarik dari tabel tersebut adalah kata “syahr (bulan)” yang disebutkan sebanyak 12 kali yang menunjukkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah 12, dan kata “yaum (hari)” yang disebutkan sebanyak 365 kali yang menunjukkan jumlah hari dalam setahun adalah 365 hari. Selanjutnya Kata “lautan (perairan)” disebutkan sebanyak 32 kali, dan kata “daratan” disebut dalam Al Quran sebanyak 13 kali. Jika kedua bilangan tersebut kita tambahkan kita dapatkan angka 45.
Sekarang kita lakukan perhitungan berikut:
· Dengan mencari persentase jumlah kata “bahr (lautan)” terhadap total jumlah kata (bahr dan barr) kita dapatkan:
(32/45)x100% = 71.11111111111%
· Dengan mencari persentase jumlah kata “barr (daratan)” terhadap total jumlah kata (bahr dan barr) kita dapatkan:
(13/45)x100% = 28.88888888889%
Kita akan mendapatkan bahwa Allah SWT dalam Al Quran 14 abad yang lalu menyatakan bahwa persentase air di bumi adalah 71.11111111111%, dan persentase daratan adalah 28.88888888889%, dan ini adalah rasio yang riil dari air dan daratan di bumi ini.
Al Qur’an Didisain Berdasarkan Bilangan 19
Dalam kaitannya dengan pertanyaan yang bersifat matematis yang hanya memiliki satu jawaban pasti, maka jika ada beberapa ahli matematika, yang menjawab di waktu dan tempat yang berbeda dan dengan menggunakan metode yang berbeda, maka tentunya akan memperoleh jawaban yang sama. Dengan kata lain, pembuktian secara matematis tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Perlu diketahui bahwa dari seluruh kitab suci yang ada di dunia ini, Al Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang seluruhnya ditulis dalam bahasa aslinya. Berkaitan dengan pembuktian, kebenaran Al Qur’an sebagai wahyu Allah yang sering dikatakan oleh orang barat sebagai ciptaan Muhammad, dapat dibuktikan secara matematis bahwa Al Qur’an tidak mungkin diciptakan oleh Muhammad. Adalah seorang ahli biokimia berkebangsaan Amerika keturunan Mesir dan seorang ilmuan muslim, Dr. Rashad Khalifa yang pertama kali menemukan sistem matematika pada desain Al Qur’an. Dia memulai meneliti komposisi matematik dari Al Quran pada 1968, dan memasukkan Al Qur’an ke dalam sistem komputer pada 1969 dan 1970, yang diteruskan dengan menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Inggris pada awal 70-an. Dia tertantang untuk memperoleh jawaban untuk menjelaskan tentang inisial pada beberapa surat dalam Al Qur’an (seperti Alif Lam Mim) yang sering diberi penjelasan hanya dengan “hanya Allah yang mengetahui maknanya”. Dengan tantangan ini, dia memulai riset secara mendalam pada inisial-inisial tersebut setelah memasukkan teks Al Qur’an ke dalam sistem komputer, dengan tujuan utama mencari pola matematis yang mungkin akan menjelaskan pentingnya inisial-inisial tersebut. Setelah beberapa tahun melakukan riset, Dr. Khalifa mempublikasikan temuan-temuan pertamanya dalam sebuah buku berjudul “MIRACLE OF THE QURAN: Significance of the Mysterious Aphabets” pada Oktober 1973 bertepatan dengan Ramadan 1393. Pada buku tersebut hanya melaporkan bahwa inisial-inisial yang ada pada beberapa surat pada Al Qur’an memiliki jumlah huruf terbanyak (proporsi tertinggi) pada masing-masing suratnya, dibandingkan huruf-huruf lain. Misalnya, Surat “Qaaf” (S No. 50) yang dimulai dengan inisial “Qaaf” mengandung huruf “Qaaf” dengan jumlah terbanyak. Surat “Shaad” (QS No. 38) yang memiliki inisial “Shaad”, mengandung huruf “Shaad” dengan proporsi terbesar. Fenomena ini benar untuk semua surat yang berinisial, kecuali Surat Yaa Siin (No. 36), yang menunjukkan kebalikannya yaitu huruf “Yaa” dan “Siin” memiliki proporsi terendah. Berdasarkan temuan tersebut, pada awalnya dia hanya berfikir sampai sebatas temuan tersebut mengenai inisial pada Al Qur’an, tanpa menghubungkan frekuensi munculnya huruf-huruf yang ada pada inisial surat dengan sebuah bilangan pembagi secara umum (common denominator). Akhirnya, pada Januari 1974 (bertepatan dengan Zul-Hijjah 1393), dia menemukan bahwa bilangan 19 sebagai bilangan pembagi secara umum[1] dalam insial-inisial tersebut dan seluruh penulisan dalam Al Qur’an, sekaligus sebagai kode rahasia Al Qur’an. Temuan ini sungguh menakjubkan karena seluruh teks dalam Al Qur’an tersusun secara matematis dengan begitu canggihnya yang didasarkan pada bilangan 19 pada setiap elemen sebagai bilangan pembagi secara umum. Sistem matematis tersebut memiliki tingkat kompleksitas yang bervariasi dari yang sangat sederhana (bisa dihitung secara manual) sampai dengan yang sangat kompleks yang harus memerlukan bantuan program komputer untuk membuktikan apakah kelipatan 19. Jadi, sistem matematika yang didasarkan bilangan 19 yang melekat pada Al Quran dapat diapresiasi bukan hanya oleh orang yang memiliki kepandaian komputer dan matematika tingkat tinggi, tetapi juga oleh orang yang hanya dapat melakukan penghitungan secara sederhana.
Selain 19 sebagai kode rahasia Al Qur’an itu sendiri, peristiwa ditemukannya bilangan 19 sebagai “miracle” dari Al Qur’an juga dapat dihubungkan dengan bilangan 19 sebagai kehendak Allah. Disebutkan di atas bahwa kode rahasia tersebut ditemukan pada tahun 1393 Hijriah. Al Qur’an diturunkan pertama kali pada 13 tahun sebelum Hijriah (hijrah Nabi). Jadi keajaiban Al Qur’an ini ditemukan 1393+13=1406 tahun (dalam hitungan hijriah) setelah Al Qur’an diturunkan, yang bertepatan dengan tahun 1974 M.
Surah 74 adalah Surah Al Muddatsir yang berarti orang yang berkemul (Al Quran dan Terjemahnya, Depag) dan juga dapat berarti rahasia yang tesembunyi, yang memang mengandung rahasia Allah mengenai keajaiban Al Qur’an. Dalam Surah 74 ayat 30-36 dinyatakan:
(74:30) Di atasnya adalah 19.
(74:31) Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu (19) melainkan untuk:
- cobaan/ujian/tes bagi orang-orang kafir,
- meyakinkan orang-orang yang diberi Al Kitab (Nasrani dan Yahudi),
- memperkuat (menambah)keyakinan orang yang beriman,
- menghilangkan keragu-raguan pada orang-orang yang diberi Al kitab dan juga orang-orang yang beriman, dan
- menunjukkan mereka yang ada dalam hatinya menyimpan keragu-raguan; dan orang-orang kafir mengatakan: “Apakah yang dikehendaki Allah dengan perumpamaan ini?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia. Dan ini tiada lain hanyalah sebuah peringatan bagi manusia.
(74:32) Sungguh, demi bulan.
(74:33) Dan malam ketika berlalu.
(74:34) Dan pagi (subuh) ketika mulai terang.
(74:35) Sesungguhnya ini (bilangan ini) adalah salah satu dari keajaiban yang besar.
(74:36) Sebagai peringatan bagi umat manusia.
Sebagian besar ahli tafsir menafsirkan 19 sebagai jumlah malaikat. Menurut Dr. Rashad Khalifa, menafsirkan bilangan 19 sebagai jumlah malaikat adalah tidak tepat karena bagaimana mungkin jumlah malaikat dapat dijadikan untuk ujian/tes bagi orang-orang kafir, untuk meyakinkan orang-orang nasrani dan yahudi, untuk meningkatkan keimanan orang yang telah beriman dan juga untuk menghilangkan keragu-raguan. Jadi, tepatnya bilangan 19 ini merupakan keajaiban yang besar dari Al Qur’an sesuai ayat 35 di atas, menurut terjemahan Dr. Rashad Khalifa (dan juga terjemahan beberapa penterjemah lain). Jadi pada ayat 35 kata “innahaa” merujuk pada kata “’iddatun” pada ayat 31.
Mengapa 19?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan tentang sistem bilangan. Kita pasti mengenal betul sistem bilangan Romawi yang masih sangat dikenal pada saat ini, seperti I=1, V=5, X=10, L=50, C=100, D=500 dan M=1000. Seperti halnya pada sistem bilangan Romawi, sistem bilangan juga dikenal pada huruf-huruf arab. Bilangan yang ditandai pada setiap huruf dikenal sebagai “nilai numerik (numerical value atau gematrical value)”. Click link ini untuk mengetahui lebih jauh tentang nilai numerik.
Setelah mengetahui nilai dari setiap huruf arab tersebut, kita dapat menjawab mengapa 19 dipakai sebagai kode rahasia Allah dalam Al Qur’an, dan sekaligus dapat digunakan untuk mengungkap keajaiban Al Qur’an. Berikut beberapa hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa 19.
* 19 merupakan nilai numerik dari kata “Waahid” dalam bahasa arab yang artinya ‘esa/satu’ (lihat Tabel 2) Tabel 2. Nilai numerik dari kata “waahid”
* 19 merupakan bilangan positif pertama dan terakhir (1 dan 9), yang dapat diartikan sebagai Yang Pertama dan Yang Terakhir seperti yang dikatakan Allah, misalnya, pada QS 57 ayat 3 sebagai berikut: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS 57:3). Kata “waahid” dalam Qur’an disebutkan sebanyak 25 kali, dimana 6 diantaranya tidak merujuk pada Allah (seperti salah satu jenis makanan, pintu, dsb). Sisanya 19 kali merujuk pada Allah. Total jumlah dari (nomor surat + jumlah ayat pada masing-masing surat) dimana 19 kata “waahid” yang merujuk pada Allah adalah 361 = 19 x 19. Jadi 19 melambangkan keesaan Allah (Tuhan Yang Esa).
* Pilar agama Islam yang pertama juga dikodekan dengan 19
“La – Ilaha – Illa – Allah”
Nilai-nilai numerik dari setiap huruf arab pada kalimah syahadat di atas adalah dapat ditulis sebagai berikut
“30 1 – 1 30 5 – 1 30 1 – 1 30 30 5”
Jika susunan angka tersebut ditulis menjadi sebuah bilangan, diperoleh = 30113051301130305 = 19 x … atau merupakan bilangan yang mempunyai kelipatan 19. Jadi jelaslah bahwa 19 merujuk kepada keesaan Allah sebagai satu-satunya dzat yang wajib disembah.
Beberapa Contoh Bukti-bukti yang Sangat Sederhana tentang Kode 19
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa desain Al Qur’an yang didasarkan bilangan 19 ini, dapat dibuktikan dari penghitungan yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat komplek. Berikut ini hanya sebagian kecil dari keajaiban Al Quran (sistim 19) yang dapat ditulis dalam artikel singkat ini. Fakta-fakta yang sangat sederhana:
(1) Kalimat Basmalah pada (QS 1:1) terdiri dari 19 huruf arab.
(2) QS 1:1 tersebut diturunkan kepada Muhammad setelah Surat 74 ayat 30 yang artinya “Di atasnya adalah 19”.
(3) Al Qur’an terdiri dari 114 surah, 19×6.
(4) Ayat pertama turun (QS 96:1) terdiri dari 19 huruf.
(5) Surah 96 (Al Alaq) ditempatkan pada 19 terakhir dari 114 surah (dihitung mundur dari surah 114), dan terdiri dari 19 ayat
(6) Surat terakhir yang turun kepada Nabi Muhammad adalah Surah An-Nashr atau Surah 110 yang terdiri dari 3 ayat. Surah terakhir yang turun terdiri dari 19 kata dan ayat pertama terdiri dari 19 huruf.
(7) Kalimat Basmalah berjumlah 114 (19×6). Meskipun pada Surah 9 (At Taubah) tidak ada Basmalah pada permulaan surah sehingga jumlah Basmalah kalau dilihat pada awal surah kelihatan hanya 113, tetapi pada Surah 27 ayat 30 terdapat ekstra Basmalah (dan juga 27+30=57, atau 19 x 3). Dengan demikian jumlah Basmalah tetap 114.
(8) Jika dihitung jumlah surah dari surah At Taubah (QS 9) yang tidak memiliki Basmalah sampai dengan Surah yang memuat 2 Basmalah yaitu S 27, ditemukan 19 surah. Dan total jumlah nomor surah dari Surah 9 sampai Surah 27 diperoleh (9+10+11+…+26+27=342) atau 19×18. Total jumlah ini (342) sama dengan jumlah kata antara dua kalimat basmalah dalam Surat 27.
(9) Berkaitan dengan inisial surah, misalnya ada dua Surah yang diawali dengan inisial “Qaaf” yaitu Surah 42 yang memiliki 53 ayat dan Surah 50 yang terdiri dari 45 ayat. Jumlah huruf “Qaaf” pada masing-masing dua surat tersebut adalah 57 atau 19 x 3. Jika kita tambahkan nomor surah dan jumlah ayatnya diperoleh masing-masing adalah (42+53=95, atau 19 x 5) dan (50+45=95, atau 19 x 5). Selanjutnya initial “Shaad” mengawali tiga surah yang berbeda yaitu Surah 7, 19, dan 38. Total jumlah huruf “Shaad” di ketiga surah tersebut adalah 152, atau 19 x 8. Hal yang sama berlaku untuk inisial yang lain.
(10) Frekuensi munculnya empat kata pada kalimat Basmalah dalam Al Qur’an pada ayat-ayat yang bernomor merupakan kelipatan 19 (lihat Tabel 3)
Tabel 3: Empat kata dalam Basmalah dan frekuensi penyebutan dalam ayat-ayat yang bernomor dalam Al Quran
No. Kata Frekuensi muncul
1 Ism 19
2 Allah 2698 (19×142)
3 Al-Rahman 57 (19×3)
4 Al-Rahiim 114 (19×6)
(11) Ada 14 huruf arab yang berbeda yang membentuk 14 set inisial pada beberapa surah dalam Al Qur’an, dan ada 29 surah yang diawali dengan inisial (seperti Alif-Lam-Mim). Jumlah dari angka-angka tersebut diperoleh 14+14+29=57, atau 19×3.
(12) Antara surah pertama yang berinisial (Surah 2 atau Surah Al Baqarah) dan surah terakhir yang berinisial (Surah 68), terdapat 38 surah yang tidak diawali dengan inisial, 38=19×2.
(13) Al-Faatihah adalah surah pertama dalam Al-Quran, No.1, dan terdiri dri 7 ayat, sebagai surah pembuka (kunci) bagi kita dalam berhubungan dengan Allah dalam shalat. Jika kita tuliskan secara berurutan Nomor surah (No. 1) diikuti dengan nomor setiap ayat dalam surah tersebut, kita dapatkan bilangan: 11234567. Bilangan ini merupakan kelipatan 19. Hal ini menunjukkan bahwa kita membaca Al Faatihah adalah dalam rangka menyembah dan meng-Esakan Allah.
Selanjutnya, jika kita tuliskan sebuah bilangan yang dibentuk dari nomor surah (1) diikuti dengan bilangan-bilangan yang menunjukkan jumlah huruf pada setiap ayat (lihat Tabel 4), diperoleh bilangan : 119171211191843 yang juga merupakan kelipatan 19.
Tabel 4: Jumlah huruf pada setiap ayat dalam Surah Al Faatihah
(14) Ketika kita membaca Surah Al-Fatihah (dalam bahasa arab), maka bibir atas dan bawah akan saling bersentuhan tepat 19 kali. Kedua bibir kita akan bersentuhan ketika mengucapkan kata yang mengandung huruf “B atau Ba’” dan huruf “M atau Mim”. Ada 4 huruf Ba’ dan 15 huruf Mim. Nilai numerik dari 4 huruf Ba’ adalah 4×2=8, dan nilai numerik dari 15 huruf Mim adalah 15×40=600. Total nilai numerik dari 4 huruf Ba’ dan 15 huruf Mim adalah 608=19×32 (lihat Tabel 5).
Tabel 5. Kata-kata dalam Surah Al-Fatihah yang mengandunghuruf Ba’ dan Mim beserta nilai numeriknya
Kejadian Di Alam Semesta yang Terkait dengan Bilangan 19
Beberapa kejadian lain di alam ini dan juga dalam kehidupan kita sehari-hari yang mengacu pada bilangan 19 adalah:
· Telah dibuktikan bahwa bumi, matahari dan bulan berada pada posisi yang relatif sama setiap 19 tahun
· Komet Halley mengunjungi sistim tata surya kita sekali setiap 76 tahun (19×4).
· Fakta bahwa tubuh manusia memiliki 209 tulang atau 19×11.
· Langman’s medical embryology, oleh T. W. Sadler yang merupakan buku teks di sekolah kedokteran di Amerika Serikat diperoleh pernyataan “secara umum lamanya kehamilan penuh adalah 280 hari atau 40 minggu setelah haid terakhir, atau lebih tepatnya 266 hari atau 38 minggu setelah terjadinya pembuahan”. Angka 266 dan 38 kedua-duanya adalah kelipatan dari 19 atau 19×14 dan 19×2.
Lima Pilar Islam (Rukun Islam) dan Sistem 19
Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh nabi sejak Nabi Ibrahim sebagai the founding father of Islam (misalnya lihat QS 2:67, 130-136; QS 5:44, 111; QS 3:52).Pesan utama yang disampaikan oleh seluruh Nabi sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad adalah sama yaitu menyembah Allah yang Esa, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Allah menyempurnakan Islam melalui Nabi Muhammad. Jadi praktek shalat, zakat, puasa dan haji telah dilakukan dan diajarkan oleh Nabi-nabi sejak Nabi Ibrahim. Dari kelima pilar agama Islam, dapat ditunjukkan bahwa semua berkaitan dengan sistim bilangan 19 (kelipatan 19).
· Syahadat
Telah dibahas di atas bahwa pilar pertama agama Islam “Laa Ilaaha Illa Allah” didisain berdasarkan bilangan 19.
· Shalat
Kata “shalawat” yang merupakan bentuk jamak dari kata “shalat“ muncul di Al Qur’an sebanyak 5 kali. Ini menunjukkan bahwa perintah Allah untuk melaksanakan shalat 5 kali sehari dikodekan di Al Qur’an. Selanjutnya jumlah rakaat dalam shalat dikodekan dengan bilangan 19. Jumlah rakaat pada shalat subuh, zuhur, ashar, maghrib dan isya masing-masing adalah 2,4,4,3, dan 4 rakaat. Jika jumlah rakaat tersebut disusun menjadi sebuah angka 24434 merupakan bilangan kelipatan 19 atau (24434 = 19×1286). Digit 1286 kalau dijumlahkan akan didapat angka 17 (1+2+8+6) yang merupakan jumlah rakaat shalat dalam sehari. Untuk hari Jum’at jumlah rakaat Shalat adalah 15, karena Shalat Jum’at hanya 2 rakaat. Ini juga dapat dikaitkan dengan bilangan 19 (kelipatan 19). Jika kita buat hari Jum’at sebagai hari terakhir, maka jumlah rakaat shalat mulai hari Sabtu sampai Jum’at dapat ditulis secara berurutan sebagai berikut: 17 17 17 17 17 17 15. Jika urutan bilangan tersebut kita jadikan menjadi satu bilangan 17171717171715, maka bilangan tersebut merupakan bilangan dengan kelipatan 19 atau (19 x 903774587985). Jadi pada intinya shalat itu menyembah Tuhan yang Satu (ingat: 19 adalah total nilai numerik dari kata ‘waahid’). Surah Al-Fatihah yang dibaca dalam setiap rakaat dalam Shalat seperti dibahas sebelumnya juga mengacu pada bilangan 19. Selanjutnya, kata “Shalat’ dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 67 kali. Jika kita jumlahkan nomor surat-surat dan nomor ayat-ayat dimana ke 67 kata “Shalat” disebutkan, diperoleh total 4674 atau 19×246.
· Puasa
Perintah puasa dalam Al Qur’an disebutkan pada ayat-ayat berikut:
- 2:183, 184, 185, 187, 196;
- 4:92; 5:89, 95;
- 33:35, 35; dan
- 58:4.
Total jumlah bilangan tersebut adalah 1387, atau 19×73. Perlu diketahui bahwa QS 33:35 menyebutkan kata puasa dua kali, satu untuk orang laki-laki beriman dan satunya lagi untuk wanita beriman.
· Kewajiban Zakat dan Menunaikan Haji ke Mekkah
Sementara tiga pilar pertama diwajibkan kepada semua orang Islam laki-laki dan perempuan, Zakat dan Haji hanya diwajibkan kepada mereka yang mampu. Hal ini menjelaskan fenomena matematika yang menarik yang berkaitan dengan Zakat dan Haji.
Zakat disebutkan dalam Al Qur’an pada ayat-ayat berikut:
Penjumlahan angka-angka tersebut diperoleh 2395. Total jumlah ini jika dibagi dengan 19 diperoleh sisa 1 (bilangan tersebut tidak kelipatan 19).
Haji disebutkan dalam Al Qur’an pada ayat-ayat
- 2:189, 196, 197;
- 9:3; dan
- 22:27.
Total penjumlahan angka-angka tersebut diperoleh 645, dan angka ini tidak kelipatan 19 karena jika angka tersebut dibagi 19 kurang 1.
Kemudian jika dari kata Zakat dan Haji digabungkan diperoleh nilai total 2395+645 = 3040 = 19x160.
Penutup
Secara umum disimpulkan bahwa Al Qur’an didisain secara matematis. Apa yang dibahas di atas hanyalah sebagian kecil dari ribuan bukti tentang desain matematis dari Al Qur’an dan khususnya tentang bilangan dasar 19 sebagai desain Al Qur’an yang dapat disajikan pada tulisan ini. Selain itu, tulisan ini hanya memfokuskan pada contoh-contoh yang sangat sederhana, sementara untuk contoh-contoh yang sangat kompleks tidak disajikan di sini karena mungkin akan sulit dipahami oleh orang yang tidak memiliki latar belakang atau kurang memahami matematika. Bilangan 19 yang juga berarti Allah yang Esa, dan juga berarti tidak ada Tuhan melainkan Dia, dapat dikatakan sebagai “Tanda tangan Allah” di alam semesta ini. Hal ini sesuai dengan salah satu firman Allah yang menyatakan bahwa seluruh alam ini tunduk dan sujud kepada Allah dan mengakui keesaan Allah. Hanya orang-orang kafir lah yang tidak mau sujud dan mengakui keesaan Allah. Allah dalam menciptakan Al Qur’an dan alam semesta ini telah melakukan perhirtungan secara detail, seperti firman Allah yang berbunyi: “dan Allah menghitung segala sesuatunya satu per satu (secara detail)” (QS 72:28). Jumlahkan angka-angka pada nomor surah dan ayat tersebut !!!!!! Anda memperoleh angka 19 (7+2+2+8=19). Dari uraian di atas khususnya mengenai lima pilar Islam diperoleh kesimpulan yang sangat tegas bahwa pemeluk Islam adalah orang-orang yang pasrah dan tunduk menyembah dan mengakui keesaan Allah seperti yang ditunjukkan bahwa kelima pilar Islam tersebut berkaitan dengan sistim bilangan 19 (nilai numerik dari kata “waahid” atau Esa). Hal ini juga sesuai dengan Islam sendiri yang yang secara harfiah dapat berarti pasrah/tunduk. Hal lain yang dapat diambil sebagai pelajaran dari sistim bilangan 19 sebagai disain Al Qur’an adalah terpecahkannya “unsolved problem” mengenai perdebatan di antara para ulama terhadap status “Basmalah” pada Surah Al-Faatihah apakah termasuk salah satu ayat dalam surah tersebut atau tidak. Dengan ditemukannya bilangan 19 sebagai disain Al Qur’an, bukti-bukti matematis pada tulisan ini telah membuktikan bahwa lafal “Basmalah” termasuk dalam salah satu ayat Surah Al-Fatihah. Sebagai penutup, semoga tulisan ini dapat menambah keimanan bagi orang-orang yang beriman, menjadi tes/ujian bagi mereka yang belum beriman, dan menghilangkan keragu-raguan bagi mereka yang hatinya dihinggapi keragu-raguan akan kebenaran Al Qur’an. Allah akan membiarkan sesat orang-orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya (QS 74:31).
Catatan:
Untuk memverifikasi “keajaiban matematis” dari Al Qur’an anda perlu menggunakan Al Qur’an yang dicetak menurut versi cetak Arab Saudi atau Timur Tengah pada umumnya. Mengapa? Hasil penelitian yang saya lakukan, terdapat banyak perbedaan antara Qur’an versi cetak Indonesia pada umumnya dan Qur’an versi cetak Arab Saudi (kebetulan saya memegang Qur’an versi cetak Arab Saudi), meskipun perbedaan tersebut tidak berpengaruh pada makna/arti. Perbedaan tersebut hanya pada cara menuliskan beberapa kata. Meskipun demikian, jika mengacu pada “Keajaiban Matematis” dari Al Qur’an, Qur’an versi cetak Indonesia pada umumnya (yang disusun oleh orang Indonesia) menyalahi aturan yang aslinya sehingga keajaiban matematis tidak muncul. Saya hanya memberikan 2 contoh kata saja dari sekian kata yang berbeda penulisannya yaitu kata “shirootho” dan “insaana”. Menurut versi cetak Arab Saudi, tidak ada huruf “ALIF” antara huruf “RO’” dan “THO” pada kata “SHIROOTHO” (lihat di Surat Al Fatihah) dan antara huruf “SIN” dan “NUN”pada kata “INSAANA”, tetapi menurut versi cetak Indonesia pada umumnya terdapat huruf ALIF pada kedua kata tersebut. Pada versi cetak Arab Saudi, untuk menunjukkan bacaan panjang pada bunyi ROO dan SAA pada kata SHIROOTHO dan INSAANA, digunakan tanda “fathah tegak”. Saya paham, maksud orang menambahkan ALIF pada kedua kata tersebut agar lebih memudahkan bagi pembacanya, tetapi ternyata menyimpang dari aslinya. Maka dari itu anda menemukan jumlah huruf yang lebih banyak pada Surat Al Fatihah ayat 6 dan 7 dari yang saya tuliskan. Sebagai tambahan, salah satu ciri Qur’an versi cetak Indonesia pada umumnya adalah Surat Al Fatihah terletak pada HALAMAN 2, sementara versi cetak Arab Saudi, Fatihah berada pada HALAMAN 1.
Mengenai jumlah kata, kata harus didefinisikan sebagai susunan dari beberapa huruf (dua hrurf atau lebih), sehingga anda harus memperlakukan “WA atau WAU” sebagai huruf meskipun bisa diartikan dengan kata “DAN” dalam bahasa Indonesia. Perlakuan “WA” (misalnya pada kata “WATAWAA”) sebenarnya bisa disamakan dengan “BI” (pada kata BISMI), karena kebetulan BI bisa gandeng dengan kata berikutnya, sementara WA tidak bisa ditulis gandeng dengan kata yang mengikutinya. Jadi jangan hitung “WA” sebagai kata, tetapi sebagai huruf.
Perkawinan Beda Agama
Menurut sebagian besar Ulama’, hukum asal menikah adalah mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak.
Apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala, dan jika tidak dikerjakan
tidak mendapatkan dosa. Namun menurut saya pribadi karena Nabiullah
Muhammad SAW melakukannya, itu dapat diartikan juga bahwa pernikahan itu
sunnah berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukan oleh Beliau.
Akan tetapi hukum
pernikahan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan haram,
tergantung kondisi orang yang akan menikah tersebut.
Pernikahan Yang Dihukumi Sunnah
Hukum menikah akan berubah menjadi sunnah apabila orang yang ingin
melakukan pernikahan tersebut mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani,
rohani, mental maupun meteriil dan mampu menahan perbuatan zina walaupun
dia tidak segera menikah. Sebagaimana sabda Rasullullah SAW :
“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan
untuk menikah, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat
menjaga pandangan mata dan lebih dapat memelihara kelamin (kehormatan);
dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim)
Pernikahan Yang Dihukumi Wajib
Hukum menikah akan berubah menjadi wajib apabila orang yang ingin
melakukan pernikahan tersebut ingin menikah, mampu menikah dalam hal
kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan ia khawatir apabila
ia tidak segera menikah ia khawatir akan berbuat zina. Maka wajib
baginya untuk segera menikah
Pernikahan Yang Dihukumi Makruh
Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang yang ingin
melakukan pernikahan tersebut belum mampu dalam salah satu hal jasmani,
rohani, mental maupun meteriil dalam menafkahi keluarganya kelak
Pernikahan Yang Dihukumi Haram
Hukum menikah akan berubah menjadi haram apabila orang yang ingin
melakukan pernikahan tersebut bermaksud untuk menyakiti salah satu pihak
dalam pernikahan tersebut, baik menyakiti jasmani, rohani maupun
menyakiti secara materiil.
Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
Didalam kehidupan kita saat ini pernikahan antara dua orang yang
se-agama merupakan hal yang biasa dan memang itu yang dianjurkan dalam
agama kita. Tetapi dengan mengatasnamakan cinta, saat ini lazim (namun
belum tentu diperbolehkan agama) dilakukan pernikahan beda agama atau
nikah campur. Hal ini sebenarnya sudah diatur dengan secara baik di
dalam agama kita, agama Islam.
Secara umum pernikahan lintas agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita non-muslim
2. Pernikahan antara pria non-muslim dengan wanita muslimah
Namun sebelum kita membahas tentang pernikahan tersebut diatas,
sebaiknya kita perlu mengetahui tentang pengertian non-muslim di dalam
Islam. Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
Golongan Orang Musyrik
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282
karya As Syech Muhammad Ali As Shobuni, orang musyrik ialah orang-orang
yang telah berani menyekutukan ALLAH SWT dengan mahluk-NYA ( menyembah
patung, berhala atau sejenisnya ).
Beberapa contoh golongan orang musyrik antara lain Majusi yang
penyembah api atau matahari, Shabi’in, Musyrikin, dan beberapa agama di
Indonesia dan kepercayaan yang menyembah patung, berhala atau lainnya.
Golongan Ahli Kitab
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As
Syech Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang
teguh pada Kitab Taurat yaitu agama Nabi Musa As. atau mereka yanga berpegang teguh pada Kitab Injil yaitu agama Nabi
Isa As. Atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama
yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani.
Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat perbedaan pendapat diantara
kalangan Ulama’. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa mereka semua kaum
Nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang
nasabnya (menurut silsilah sejak nenek moyangnya dahulu) ketika
diturunkan sudah memeluk agama Nasrani. Jadi kaum Nasrani di Indonesia,
berdasarkan pendapat sebagian Ulama’ tidak termasuk Ahli Kitab.
1. Pernikahan Antara Pria Muslim Dengan Wanita Non-Muslim
Didalam Islam, pernikahan antara antara pria muslim
dengan wanita non-muslim Ahli Kitab itu, menurut pendapat sebagian
Ulama’ diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada Firman ALLAH SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya
“(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan dan dari kalangan orang-orang yang beriman dan
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan Ahli Kitab
sebelum kamu ”.
Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan melaksanakan hal tersebut, yaitu :
Jelas Nasabnya
Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek
moyangnya adalah Ahli Kitab, jadi seperti kesimpulan para Ulama’ di
atas, sebagian besar kaum Nasrani di Indonesia bukan merupakan golongan
Ahli Kitab, seperti halnya juga kaum Tionghoa yang beragama Nasrani di
Indonesia.
Benar-benar Berpegang Teguh Pada Kitab Taurat dan Kitab Injil
Apabila memang apabila mereka berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan
atau Injil (yang benar-benar asli) pasti mereka pada akhirnya akan
masuk Islam, karena sebenarnya pada Kitab Taurat dan Injil yang asli
telah disebutkan bahwa akan datang seorang Nabi setelah Nabi Musa As dan Nabi
Isa As, yaitu Nabiullah Muhammad SAW. Dan apabila mereka mengimani akan
adanya Nabiullah Muhammad SAW, pasti mereka akan masuk Islam
Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anak-anaknya kelak dari bahaya fitnah
Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khattab, Usman bin Affan,
Sahabat Thalhah, Sahabat Hudzaifah, Sahabat Salman, Sahabat Jabir dan
beberapa Sahabat lainnya, semua memperbolehkan pria muslim menikahi wanita Ahli Kitab.
Sahabat Umar bin Khattab pernah berkata
“Pria Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab menikah dengan wanita muslimah”.
Bahkan Sahabat Hudzaifah dan Sahabat Thalhah pernah menikah dengan
wanita Ahli Kitab tetapi akhirnya wanita tersebut masuk Islam. Dengan
demikian, keputusan untuk memperbolehkan menikah dengan wanita Ahli
Kitab sudah merupakan Ijma’ (artinya kesepakatan yakni kesepakatan para
ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.) para Sahabat.
Ulama’ besar Ibnu Al-Mundzir mengatakan bahwa jika ada Ulama’ Salaf yang
mengharamkan pernikahan tersebut diatas, maka riwayat tersebut dinilai
tidak Shahih
Lebih lanjut MUI mengeluarkan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 per-tanggal 9-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M tentang haramnya pernikahan pria muslim
dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.
Meskipun fatwa itu diusung dengan merujuk pada beberapa dalil naqli,
tetap saja menghapus kebolehan pria muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 5
tersebut diatas. Dan rupanya fatwa itu dikeluarkan karena didorong oleh
keinsafan akan adanya persaingan antara agama. Para Ulama’ menganggap
bahwa persaingan tersebut telah mencapai titik rawan bagi kepentingan
dan pertumbuhan masyarakat muslim dan merupakan tindakan pencegahan untuk melindungi muslim dan keturunannya
Dalam hal ini fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa tiada sesuatu
agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan kebebasan
beragama, dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperta
agama Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 120 :
“Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka”.
Dan Allah berfirman surat An Nisa ayat 141 yang artinya :
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.
Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya selalu
berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir
termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan
umat Islam dengan berbagai cara, dan hendaklah umat Islam tidak memberi
jalan/kesempatan pada meraka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan
jalan perkawinan muslimah dengan pria non Muslim.
Namun ada pula Ulama’ yang secara tegas mengharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab. Para Ulama’ ini mendasarkan pendapatnya pada Firman ALLAH Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 221 yang berarti
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang muslim
itu lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman . sesungguhnya budak mukmin itu lebih
baik daripada musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajak
ke neraka, sedangkan ALLAH mengajak ke surga dan ampunan dengan ijinNYA.
Dan ALLAH menerangkan ayat-ayatNYA (perintah-perintahNYA) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”
Dan juga Al-Quran Surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang berarti
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
ALLAH mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
mengembalikan mereka kepada (suami-suami) mereka orang-orang kafir.
Mereka tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami)
mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini
mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka
meminta mahar yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum ALLAH yang
ditetapkanNYA diantara kamu, dan ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”
Disamping itu, mereka juga berpegangan kepada perkataan Sahabat Abdullah bin Umar yang berarti
“tiada kemusyrikan yang paling besar daripada wanita yang meyakini Isa bin Maryam sebagai tuhannya”.
Dalam Kitab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah, Ibnu
Abbas pernah menyatakan, hukum pernikahan dalam QS. Al-Baqarah ayat 221
dan QS. Al-Mumtahanah ayat 10 diatas telah dihapus (mansukh) oleh QS.
Al-Maidah ayat 5. Karenanya yang berlaku adalah hukum dibolehkannya
pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab
Sedangkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrikah, menurut kesepakatan para Ulama’ tetap diharamkan, apapun alasannya, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah
2. Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah
Pernikahan antara wanita muslimah
dengan pria non-muslim, menurut kalangan Ulama’ tetap diharamkan, baik
menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musyrik.
Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim
tidak dapat menahan godaan yang akan datang kepadanya. Seperti halnya
wanita tersebut tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin
bertentangang dengan syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan
godaan yang datang dari lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin
cenderung lebih dominan
Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5, yang menyatakan bahwa ALLAH SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim
dengan wanita Ahli Kitab, tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini
diperbolehkan, maka ALLAH SWT pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya , berdasarkan mahfum al-mukhalafah, secara implisit ALLAH SWT melarang pernikahan tersebut.
Dalam Kitab tafsir Al-Tabati karya Imam Ibnu Jarir At-Tabari, menuturkan Hadits Riwayat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
“Kami (kaum muslim) menikahi wanita Ahli Kitab, tetapi mereka (pria Ahli Kitab) tidak boleh menikahi wanita kami”
Menurut Imam Ibnu Jarir At-Tabari, meskipun sanad-sanad Hadits
tersebut sedikit bermasalah, maknanya telah disepakati oleh kaum
muslimin, maka ke-hujjah-annya dapat dipertanggungjawabkan.
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Indonesia
Akhirnya keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli
1991 menjadi hukum positif yang bersifat unikatif bagi seluruh umat
Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan
agama dalam menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang
perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c): “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”.
Larangan perkawinan tersebut oleh Kompilasi Hukum Islam mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni:
Satu : Dari segi hukum positif bisa dikemukakan
dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan "tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan
kepercayaannya itu".
Dua : Dari segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
a. سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai tindakan
preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah
tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
b. Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal
ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan
daripada upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi)
suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar dari
masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinspnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara
seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam
(perhatikan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim
tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung
resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah
berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang
beragama Islam (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam
(pria/wanita) apapun agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia
berkewajiban mentaati larangan pemerintah itu sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
Berangkat dari ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5.
Selanjutnya Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat yang mungkin terjadi karena perkawinan dengan wanita non Muslim :
1. Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim yang belum kawin.
2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula
anak-anaknya. Bila terjadi, maka “fitnah” benar-benar menjadi kenyataan.
3. Perkawinan dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami-istri dan pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan kitabiyah beda tanah air, bahasa, kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan kitabiyah Eropa atau Amerika.
Dari segi agama, lemahnya posisi pria Muslim
tersebut sangat berbahaya bila kawin dengan kitabiyah. Karena itu kawin
dengan kitabiyah harus dijauhi. Pada masa Umar bin Khattab kaum
Muslimin sangat kuat. Umar melarang kaum Muslimin kawin dengan kitabiyah
dan para sahabat yang beristri kitabiyah ia suruh untuk menceraikannya.
Jika dalam posisi kaum Muslimin kuat saja, dilarang kawin dengan
kitabiyah, apalagi sesudah kaum Muslimin lemah, seperti pada masa kini,
misalnya di Indonesia.
Kesimpulan
Sebenarnya pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam Islam,
tetapi karena saat ini sangat sulit sekali ditemui wanita Ahli Kitab
yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka saya dapat simpulkan bahwa
pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan sah karena
hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh
kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci
tersebut yang ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli.
Sedangkan pernikahan wanita muslimah yang menikah dengan pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab tetap dihukumi haram
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya
perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas
Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang
populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat
dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1. meminta penetapan pengadilan,
2. perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3. penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4. menikah di luar negeri.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya; karena
keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya.
Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan
beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka bagi kaum muslimin dan muslimah,
alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak,
kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya TIDAK DAPAT DIBENARKAN.
Perlu pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria muslim
dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh
dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya pernikahan
yang paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia maupun
akhirat serta membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warohmah adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu
Islam.
Wallahu ‘alam bisshowaab
Agar Hati Tidak Membatu
Segala puji bagi Allah, yang membentangkan tangan-Nya untuk menerima
taubat hamba-hamba-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada
Nabi-Nya, teladan bagi segenap manusia, yang menunjukkan kepada mereka
jalan yang lurus menuju ampunan dan ridha-Nya. Amma ba’du.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.” (al-Fawa’id, hal. 95).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh celaka orang-orang yang berhati keras dari mengingat Allah, mereka itu berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. az-Zumar: 22).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Maksudnya,
hati mereka tidak menjadi lunak dengan membaca Kitab-Nya, tidak mau
mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya, dan tidak merasa tenang dengan
berzikir kepada-Nya. Akan tetapi hati mereka itu berpaling dari Rabbnya
dan condong kepada selain-Nya…” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 722).
Ciri-Ciri Orang Berhati Keras
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa ciri orang
yang berhati keras itu adalah tidak lagi merespon larangan dan
peringatan, tidak mau memahami apa maksud Allah dan rasul-Nya karena saking
kerasnya hatinya. Sehingga tatkala setan melontarkan bisikan-bisikannya
dengan serta-merta hal itu dijadikan oleh mereka sebagai argumen
untuk mempertahankan kebatilan mereka, mereka pun menggunakannya
sebagai senjata untuk berdebat dan membangkang kepada Allah dan
rasul-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 542)
Orang yang berhati keras itu tidak bisa memetik pelajaran dari
nasehat-nasehat yang didengarnya, tidak bisa mengambil faedah dari ayat
maupun peringatan-peringatan, tidak tertarik meskipun diberi motivasi
dan dorongan, tidak merasa takut meskipun ditakut-takuti. Inilah salah
satu bentuk hukuman terberat yang menimpa seorang hamba, yang
mengakibatkan tidak ada petunjuk dan kebaikan yang disampaikan kepadanya
kecuali justru memperburuk keadaannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225).
Orang yang memiliki hati semacam ini, tidaklah dia menambah
kesungguhannya dalam menuntut ilmu melainkan hal itu semakin mengeraskan
hatinya… Wal ‘iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah darinya)… Maka sangat wajar, apabila sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengingatkan kita semua, “Ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakekat ilmu itu adalah rasa takut.” Abdullah anak Imam Ahmad pernah bertanya kepada bapaknya, “Apakah Ma’ruf al-Kurkhi itu memiliki ilmu?!”. Imam Ahmad menjawab, “Wahai putraku, sesungguhnya dia memiliki pokok ilmu!! Yaitu rasa takut kepada Allah.
Sebab Hati Menjadi Keras
Sebab utama hati menjadi keras adalah kemusyrikan. Oleh sebab itu Ibnu Juraij rahimahullah menafsirkan ‘orang-orang yang berhati keras’ dalam surat al-Hajj ayat 53 sebagai orang-orang musyrik (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim
[5/326]). Demikian pula orang-orang yang bersikeras meninggalkan
perintah-perintah Allah dan orang-orang yang memutarbalikkan ayat-ayat
Allah (baca: ahlul bid’ah); mereka menyelewengkan maksud ayat-ayat agar
cocok dengan hawa nafsunya. Orang-orang seperti mereka adalah
orang-orang yang berhati keras (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman,
hal. 225). Selain itu, faktor lain yang menyebabkan hati menjadi
keras adalah berlebih-lebihan dalam makan, tidur, berbicara dan bergaul
(lihat al-Fawa’id, hal. 95)
Lembut dan Kuatkan Hatimu!
Sudah semestinya seorang muslim
-apalagi seorang penuntut ilmu!- berupaya untuk memelihara keadaan
hatinya agar tidak menjadi hati yang keras membatu. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hati seorang hamba akan menjadi sehat dan kuat apabila pemiliknya menempuh tiga tindakan:
- Menjaga kekuatan hati. Kekuatan hati akan terjaga dengan iman dan wirid-wirid ketaatan.
- Melindunginya dari segala gangguan/bahaya. Perkara yang membahayakan itu adalah dosa, kemaksiatan dan segala bentuk penyimpangan.
- Mengeluarkan zat-zat perusak yang mengendap di dalam dirinya. Yaitu dengan senantiasa melakukan taubat nasuha dan istighfar untuk menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukannya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 25-26)
Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Setiap hamba pasti membutuhkan waktu-waktu tertentu untuk menyendiri dalam memanjatkan doa, berzikir, sholat, merenung, berintrospeksi diri dan memperbaiki hatinya.” (dinukil dari Kaifa Tatahammasu, hal. 13). Ibnu Taimiyah juga berkata, “Dzikir
bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Maka apakah yang akan terjadi
apabila seekor ikan telah dipisahkan dari dalam air?” (lihat al-Wabil ash-Shayyib). Ada seseorang yang mengadu kepada Hasan al-Bashri, “Aku mengadukan kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka beliau menasehatinya, “Lembutkanlah ia dengan berdzikir.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah
daripada menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang
terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar
kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati disebabkan perasaan
aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian. Sebaliknya, hati
akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada Allah dan ketekunan
berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
Langkah Selanjutnya?
Dari keterangan-keterangan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa
untuk menjaga hati kita agar tidak keras dan membatu adalah dengan cara:
- Beriman kepada Allah dan segala sesuatu yang harus kita imani
- Mentauhidkan-Nya, yaitu dengan mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya dan membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya
- Melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya
- Meninggalkan perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan
- Banyak mengingat Allah, ketika berada di keramaian maupun ketika bersendirian
- Banyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah untuk menghapus dosa-dosa kita
- Menanamkan perasaan takut kepada Allah dan berusaha untuk senantiasa menghadirkannya dimana pun kita berada
- Merenungi maksud ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Selalu bermuhasabah/berintrospeksi diri untuk memperbaiki diri dan menjaga diri dari kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu
- Bergantung kepada Allah dan mendahulukan Allah di atas segala-galanya
Ya Allah, lunakkanlah hati kami dengan mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu…
Adab-Adab Makan Rasulullah SAW
Rasulullah SAW adalah suri tauladan umat dalam berbagai aspek
kehidupan. Dalam hal kesehatan, ajaran-ajaran beliau sudah banyak
dibuktikan oleh penelitian-penelitian modern akan kebenaran manfaatnya
yang besar. Salah satu ajaran beliau adalah adab-adab makan yang membawa
kesehatan dan keberkahan sepanjang zaman.
Diantara adab-adab makan yang Rasulullah SAW ajarkan adalah :
1. Tidak mencela makanan yang tidak disukai.
Abu Hurairah ra. berkata : “Rasulullah SAW tidak pernah sedikit
pun mencela makanan. Bila beliau berselera, beliau memakannya. Dan jika
beliau tidak menyukainya, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada keluarganya (istrinya) tentang lauk pauk. Mereka menjawab :
“Kami hanya punya cuka”. Lalu beliau memintanya dan makan dengannya,
seraya bersabda : “Sebaik-baik lauk pauk ialah cuka (al-khall),
sebaik-baik lauk pauk adalah (yang mengandung) cuka.” (HR. Muslim)
Penelitian Dr. Masaru Emoto dari Jepang dalam bukunya ’The True Power
of Water’ menemukan bahwa unsur air ternyata hidup. Air mampu merespon
stimulus dari manusia berupa lisan maupun tulisan. Ketika diucapkan
kalimat yang baik atau ditempelkan tulisan dengan kalimat positif, maka
air tersebut akan membentuk struktur kristal yang indah dan bisa
memiliki daya sembuh untuk berbagai penyakit. Sebaliknya, jika diucapkan
maupun ditempelkan kalimat umpatan, celaan atau kalimat negatif
lainnya, maka air tersebut akan membentuk struktur kristal yang jelek
dan bisa berpengaruh negatif terhadap kesehatan.
2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.
Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang tertidur sedang di kedua
tangannya terdapat bekas gajih/lemak (karena tidak dicuci) dan ketika
bangun pagi ia menderita suatu penyakit, maka hendaklah dia tidak
menyalahkan kecuali dirinya sendiri.”
3. Membaca Basmalah dan Hamdalah.
Rasulullah SAW bersabda : “Jika seseorang di antara kamu hendak
makan, maka sebutlah nama Allah SWT. Dan jika ia lupa menyebut nama-Nya
pada awalnya, maka bacalah, ’Bismillahi awwalahu wa akhirahu’ (Dengan
menyebut nama Allah SWT pada awalnya dan pada akhirnya).”(HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW tersenyum, beliau menjelaskan ketika seorang Muslim tidak membaca Basmalah sebelum makan, maka syaitan akan ikut makan dengannya. Namun, ketika Muslim tersebut teringat dan menyebut nama Allah SWT, maka syaitan pun langsung memuntahkan makanan yang sudah dimakannya.
Rasulullah SAW juga bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT meridhai
seorang hamba yang ketika makan suatu makanan lalu dia mengucapkan
Alhamdulillah. Dan apabila dia minum suatu minuman maka dia pun
mengucapkan Alhamdulillah.” (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)
4. Makan menggunakan tangan kanan.
Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Jika salah seorang diantaramu makan, maka hendaklah ia makan dengan
tangan kanannya dan jika ia minum maka hendaklah minum dengan tangan
kanannya. Sebab syaitan itu makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim)
Kedua tangan manusia mengeluarkan tiga macam enzim, tetapi
konsentrasi di tangan kanan lebih banyak daripada tangan kiri. Enzim
tersebut sangat membantu dalam proses pencernaan makanan.
5. Tidak bersandar ketika makan.
Rasulullah SAW bersabda : “Aku tidak makan dengan posisi bersandar (muttaki-an).” (HR. Bukhari)
“Muttaki-an” ada
yang menafsirkan duduk bersilang kaki dan ada pula yang menafsirkan
bersandar kepada sesuatu, baik itu bersandar di atas salah satu tangan
atau bersandar pada bantal. Ada pula yang menafsirkan bersandar pada
sisi badan.
Rasulullah SAW jika makan, tidak makan dengan menggunakan alas duduk
seperti bantal duduk sebagaimana orang-orang yang ingin makan banyak
dengan menu makanan yang variatif. Rasulullah SAW menjadikan makannya
sebagai ibadah kepada Allah SWT. Karenanya beliau duduk tanpa alas dan
mengambil makanan secukupnya.
6. Memakan makanan yang terdekat dahulu.
Umar bin Abi Salamah ra. bercerita : “Saat aku belia, aku pernah
berada di kamar Rasulullah SAW dan kedua tanganku seringkali
mengacak-acak piring-piring. Rasulullah SAW bersabda kepadaku, ’Nak,
bacalah Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari
makanan baik yang terdekat.” (HR. Bukhari)
7. Makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang.
Dari Mikdam bin Ma’dikarib ra. menyatakan pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :
“Tiada memenuhi anak Adam suatu tempat yang lebih buruk daripada
perutnya. Cukuplah untuk anak Adam itu beberapa suap yang dapat
menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak ada cara lain, maka sepertiga
(dari perutnya) untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minuman dan
sepertiganya lagi untuk bernafas.” (HR. Tirmidzi dan Hakim)
8. Menjilat tangan ketika makan tanpa sendok atau garpu.
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika salah
seorang diantaramu makan, maka hendaklah ia menjilati jari-jemarinya,
sebab ia tidak mengetahui dari jemari mana munculnya keberkahan.” (HR. Muslim)
Dalam hadits riwayat Imam Muslim
pula, Ka’ab bin Malik ra. memberikan kesaksian bahwa ia pernah melihat
Rasulullah SAW makan dengan menggunakan tiga jarinya dan beliau
menjilatinya selesai makan.
Penemuan kesehatan modern menunjukkan bahwa ketika kita makan dengan
jari dan menjilati jari untuk membersihkannya, maka jari tersebut
mengeluarkan enzim yang sangat membantu bagi kelancaran pencernaan.
9. Membuang kotoran dari makanan yang terjatuh lalu memakannya.
Dari Anas bin Malik ra. berkata bahwa Rasulullah SAW sering makan
dengan menjilati ketiga jarinya (Ibu jari, telunjuk dan jari tengah),
seraya bersabda : “Apabila ada makananmu yang terjatuh, maka
buanglah kotorannya dan hendaklah ia memakannya serta tidak
membiarkannya untuk syaitan.” Dan beliau juga memerintahkan kami untuk
menjilati piring seraya bersabda : “Sesungguhnya kamu tidak mengetahui
pada makanan yang mana adanya berkah itu.” (HR. Muslim)
Islam melarang hal-hal yang mubazir, termasuk dalam hal makanan.
Seringkali kita menyaksikan orang yang mengambil makanan berlebihan
sehingga tidak habis dimakan. Makanan yang mubazir itu akhirnya
dibiarkan untuk syaitan, padahal bisa jadi sebenarnya pada makanan
tersebut terdapat keberkahan. Oleh karena itu, ketika mengambil makanan
harus berdasarkan perhitungan bahwa makanan tersebut akan habis dimakan.
10. Makan dan minum sambil duduk.
Rasulullah SAW suatu ketika melarang seorang lelaki minum sambil berdiri. Berkata Qatadah : “Bagaimana dengan makan?” Rasul menjawab : “Itu lebih buruk lagi.” (HR. Muslim)
11. Tidak bernafas ketika minum dan menjauhkan mulut dari tempat minum ketika bernafas.
Dari Abu Al-Mutsni Al-Jahni ra berkata, aku pernah berada di rumah
Marwan bin Hakam, tiba-tiba datang kepadanya Abu Sa’id ra. Marwan
berkata kepadanya : “Apakah engkau pernah mendengar Rasulullah SAW
melarang bernafas di tempat minum?”. Abu Sa’id menjawab : “Ya. Ada
seseorang pernah berkata kepada Rasulullah SAW, ”Aku tidak kenyang
dengan air hanya satu kali nafas.” Lalu Rasulullah SAW
bersabda,“Jauhkanlah tempat air (gelas) dari mulutmu, lalu bernafaslah!”
Orang itu berkata lagi, “Sesungguhnya aku melihat ada kotoran pada
tempat minum itu”. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ”Kalau begitu,
tumpahkanlah! (HR. Abu Dawud)
Dan juga dari Ibnu Abbas ra. berkata : “Rasulullah SAW telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. Tirmidzi)
Rasulullah SAW melarang bernafas ketika minum. Apabila minum sambil
bernafas, tubuh kita mengeluarkan CO2 (Karbondioksida), apabila
bercampur dengan H2O (Air) dapat menjadi H2CO3 (Cuka) sehingga
menyebabkan minuman menjadi acidic (Asam). Hal ini dapat terjadi juga
ketika meniup air panas. Makanan dan minuman panas sebaiknya tidak
didinginkan dengan ditiup, tapi cukup dikipas.
12. Tidak berprasangka buruk jika makan ditemani orang yang berpenyakit.
Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW pernah memegang tangan orang yang
majdzum (kusta), beliau meletakkan tangannya pada piring makan seraya
bersabda : “Makanlah, yakinlah kepada Allah SWT dan bertawakkallah.” (HR. Abu Dawud)
13. Tidak duduk pada meja yang dihidangkan makanan haram.
Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia tidak
duduk pada meja makan yang padanya diedarkan minuman khamr.” (HR. Imam Tirmidzi)
14. Mendo’akan yang mengundang makan.
Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW pernah datang ke Sa’ad
bin Ubadah ra. yang menghidangkan roti dan mentega. Rasulullah SAW
memakannya, lalu beliau bersabda : “Telah berbuka di sisimu
orang-orang yang berpuasa. Hidanganmu telah dimakan oleh orang-orang
shalih (baik) dan malaikat pun mendo’akan kebaikan untukmu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
15. Menutup tempat makan dan minum.
Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tutuplah tempat makanan dan tempat minuman!” (HR. Bukhari Muslim)
Sabtu, 05 Mei 2012
Diluaskan Dan Disempitkan Rezeki
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Risalah berikut akan sedikit berbicara tentang masalah rizki. Nasehat
ini pun tidak perlu jauh-jauh ditujukan pada orang lain. Sebenarnya
yang lebih pantas adalah nasehat ini ditujukan pada diri kami sendiri
supaya selalu bisa ridho dengan takdir ilahi dalam hal rizki.
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا
ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
(15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ
رَبِّي أَهَانَنِ (16)
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia
dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata:
“Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu
membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16)
Penjelasan Para Ulama
Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika
ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu
dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah,
ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun
bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku
dengan karunia ini.”[1]
Kemudian Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah
oleh Rabbnya dengan disempitkan rizki, yaitu rizkinya tidak begitu
banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau
merendahkannya. Sehingga ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah
berikan berupa keselamatan anggota badan dan rizki berupa nikmat sehat
pada jasadnya.”[2]
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala
mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan
rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia
menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah
memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami
berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan
kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah
menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka.
Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada
orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula
Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.
Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan
disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua
keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia
bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar.
Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[3]
Antara Mukmin dan Kafir
Sifat yang disebutkan dalam surat ini (Al Fajr ayat 15-16) adalah
sifat orang kafir. Maka sudah patut untuk dijauhi oleh seorang muslim.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Sifat yang disebutkan
dalam (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir yang tidak beriman
pada hari berbangkit. Sesungguhnya kemuliaan yang dianggap orang kafir
adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang
muslim, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan pada Allah dan
bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah
memberi rizki baginya di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur
pada-Nya.”[4]
Syukuri dan Bersabar
Pahamilah! Tidak perlu merasa iri hati dengan rizki orang lain. Kita
dilapangkan rizki, itu adalah ujian. Kita disempitkan rizki, itu pula
ujian. Dilapangkan rizki agar kita diuji apakah termasuk orang yang
bersyukur atau tidak. Disempitkan rizki agar kita diuji termasuk orang
yang bersabar ataukah tidak. Maka tergantung kita dalam menyikapi rizki
yang Allah berikan. Tidak perlu bersedih jika memang kita tidak
ditakdirkan mendapatkan rizki sebagaimana saudara kita. Allah tentu saja
mengetahui manakah yang terbaik bagi hamba-Nya. Cobalah pula kita
perhatikan bahwa rizki dan nikmat bukanlah pada harta saja. Kesehatan
badan, nikmat waktu senggang, bahkan yang terbesar dari itu yaitu nikmat
hidayah Islam dan Iman, itu pun termasuk nikmat yang patut disyukuri.
Semoga bisa jadi renungan berharga.
Ya Allah, karuniakanlah pada kami sebagai orang yang pandai
besyukur dan bersabar pada-Mu dalam segala keadaan, susah maupun senang.
Sungguh nikmat diberikan taufik untuk merenungkan Al Qur’an. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Diam Yang Menyelamatkan
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang diam maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad [6481] sanadnya disahihkan Syaikh Ahmad Syakir, lihat al-Musnad [6/36] dan disahihkan pula oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 21-22 Bab Najatul Insan bi ash-Shamti wa Hifzhi al-Lisan)
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [10])
Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [11] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [42])
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Maknanya adalah orang yang tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan dilakukan dengannya.” (lihat Syarh Muslim [2/93] cet. Dar Ibnu al-Haistam)
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah bahwa kaum muslimin yang paling utama adalah orang yang selain menunaikan hak-hak Allah ta’ala dengan baik maka dia pun menunaikan hak-hak sesama kaum muslimin dengan baik pula.” (lihat Fath al-Bari [1/69] cet. Dar al-Hadits)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Tidak ada di atas muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh untuk dipenjara dalam waktu yang lama selain lisan.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir [9/162], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 26)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?”. Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/127-128], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 27)
al-Laits bin Sa’ad rahimahullah menceritakan: Suatu ketika orang-orang melewati seorang rahib/ahli ibadah. Lantas mereka pun memanggilnya, tetapi dia tidak menjawab seruan mereka. Kemudian mereka pun mengulanginya dan memanggilnya kembali. Namun dia tetap tidak memenuhi panggilan mereka. Maka mereka pun berkata, “Mengapa kamu tidak mau berbicara dengan kami?”. Maka dia pun keluar menemui mereka dan berkata, “Aduhai orang-orang itu! Sesungguhnya lisanku adalah hewan buas. Aku khawatir jika aku melepaskannya dia akan memangsa diriku.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 32)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Sekarang ini bukanlah masa untuk banyak berbicara. Ini adalah masa untuk lebih banyak diam dan menetapi rumah.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 37)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah juga berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 38)
Sebagian orang bijak mengatakan dalam syairnya:
Kita mencela masa, padahal aib itu ada dalam diri kita
Tidaklah ada aib di masa kita kecuali kita
Kita mencerca masa, padahal dia tak berdosa
Seandainya masa bicara, niscaya dia lah yang ‘kan mencerca kita
Agama kita adalah pura-pura dan riya’ belaka
Kita kelabui orang-orang yang melihat kita
(lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 41)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi berbagai fitnah (kekacauan dan permusuhan). Pada saat itu, orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya niscaya dia akan ditelan olehnya. Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat perlindungan hendaklah dia berlindung dengannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Fitan [7081] dan Muslim dalam Kitab al-Fitan [2886])
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi peringatan keras supaya menjauh dari fitnah dan anjuran untuk tidak turut campur di dalamnya, sedangkan tingkat keburukan yang dialaminya tergantung pada sejauh mana keterkaitan dirinya dengan fitnah itu.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Pendapat yang tepat adalah fitnah di sini pada asalnya bermakna ujian/cobaan. Adapun mengingkari kemungkaran adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mampu melakukannya. Barangsiapa yang membantu pihak yang benar maka dia telah bersikap benar, dan barangsiapa yang membela pihak yang salah maka dia telah keliru.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Thawus menceritakan: Tatkala terjadi fitnah terhadap ‘Utsman radhiyallahu’anhu, ada seorang lelaki arab yang berkata kepada keluarganya, “Aku telah gila, maka ikatlah diriku”. Maka mereka pun mengikatnya. Ketika fitnah itu telah reda, dia pun berkata kepada mereka, “Lepaskanlah ikatanku. Segala puji bagi Allah yang telah menyembuhkanku dari kegilaan dan telah menyelamatkan diriku dari turut campur dalam fitnah/pembunuhan ‘Utsman.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [11/450] sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 46)
al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62). Wallahul musta’an. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin
Langganan:
Postingan (Atom)